Sabtu, 28 Juni 2014

MEMBANGUN JIWA MUSLIM TOLERAN DEMI KEUTUHAN NKRI

PENDAHULUAN

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang mengayomi rakyat dari berbagai suku, ras, agama dengan adat istiadat dan budaya yang beragam. Setiap pemeluk agama dijamin kebebasannya oleh Negara dan mendapat hak dan kewajiban yang sama sebagai warga. Negara Kesatuan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu ini memiliki sejarah panjang dan berat yang mengokohkan penggagasnya untuk senantiasa melestarikan kekayaan budaya dan sejarah yang dimilikinya. Maka, para pendahulu itu pun menggagas pancasila sebagai ideology Negara yang menjadi dasar hokum yang mengatur segala hal kenegaraan.
Namun, dalam perjalanannya tak semulus yang dikira. Penganut agama yang majemuk ini tidak semua bisa menerima dengan hati terbuka atas terbentuknya NKRI. Beberapa kalangan dari kaum muslimin menganggap bahwa Negara Indonesia tidak bisa menjadi Negara yang sah selama pemerintahannya belum menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh. Menurut mereka, seharusnya aturan yang dijalankan adalah aturan yang sesuai dengan sumber al-Qur’an dan al-Hadits demi mencapai terbentuknya Negara yang syar’I dan diridloi Tuhan. Ide-ide itu pun tertancap kuat di hati mereka dan semakin mengobarkan semangat mereka untuk mendirikan Negara Islam di tengah kemajemukan warganegara Indonesia.
Menurut Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam sebuah pengantar di buku Ilusi Negara Islam, di antara salah satu factor yang menyebabkan terbentuknya jiwa fundamentalis dari kalangan muslim adalah ketidakpuasan mereka karena kegagalan Negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Kaum fundamentalis menginginkan menempuh jalan pintas bagi tegaknya keadilan, yaitu melaksanakan syari’at Islam melalui kekuasaan. Jika secara nasional belum mungkin maka diupayakan melalui Perda-Perda. Dalam bayangan mereka, dengan pelaksanaan syari’ah ini, Tuhan akan meridloi Indonesia.
Seiring dengan tumbuhnya mereka, aksi anarkis semakin banyak terjadi. Kekerasan atas nama agama dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar merajalela. Kaum fundamentalis yang berparadigma pemikiran islam politik legal-eksklusif itu membinasakan bahkan menganggap kafir siapa saja yang ideologinya bertentangan dengan pemahaman keyakinan mereka. Kejahatan yang merajalela ini tentunya karena sempitnya pandangan mereka atas teks-teks al-Qur’an dan al-hadits sehingga membakar habis sikap-sikap toleransi yang seharusnya dijunjung tinggi umat Islam.
Maka, hidup di Negara yang menjunjung tinggi kebhinekaan ini semestinya justru menjadi api utama yang mengobarkan jiwa toleransi seluruh umat Islam. Bagaimana seharusnya sikap kita sebagai kaum muslim di Indonesia yang hidup berdampingan dengan pemeluk agama yang lain? Apa yang harus kita lakukan demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan yang telah mendahului?
Di makalah ini, akan kami paparkan tentang bagaimana muslim harus bersikap toleran demi menjaga keutuhan Negara, yaitu sikap toleransi seorang muslim pada terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, toleransi muslim terhadap hokum positif Negara, toleransi muslim dalam perbedaan keyakinan, toleransi muslim dalam amar ma’ruf nahi munkar dan toleransi muslim dalam berdakwah.




                                                                                                        



PEMBAHASAN

Definisi Muslim Toleran
Istilah “Muslim” bermakna orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan atau orang yang mencari kedamaian Tuhan. Term “muslim” ini merupakan rangkaian kata aslama – yuslimu – islaam yang berarti menyerah atau mencari kedamaian.  Kata Islam (ketundukan, kepasrahan dan kedamaian) merupakan bentuk kata benda verbal yang searti dengan bentuk adjektif muslim (tunduk, pasrah dan damai). Secara teknis operasional, kata muslim dimaknai sebagai orang yang memeluk agama Islam. Dalam hal ini Islam dimaknai sebagai ajaran agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. [1]
Kedamaian dan perdamaian adalah kata kunci untuk melihat hakikat diri seorang muslim. Agaknya, cukup dengan memahami makna agama Islam, seseorang dapat mengetahui bahwa ia adalah agama yang mendambakan perdamaian. Cukup juga dengan mendengarkan ucapan yang dianjurkan untuk disampaikan pada setiap pertemuan, “assalamu ‘alaikum” (damai dan keselamatan untuk anda), seseorang dapat menghayati bahwa kedamaian yang didambakan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk pihak lain.[2] Maka tidak heran jika salah satu ciri muslim adalah seperti sabda Nabi Muhammad Saw:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
“Seorang muslim adalah siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan kedamaian) dari gangguan lidah dan tangannya.”
Sedangkan kata toleransi, dalam bahasa Yunani disebut dengan istilah “sophrosyne” yang artinya adalah moderasi atau mengambil jalan tengah. Istilah toleransi berasal dari bahasa Latin “tolerantia” yang artinya menahan. Jika dikaitkan dengan perbedaan pendapat dan keyakinan, maka toleransi adalah sikap menahan diri untuk tidak menggunakan cara-cara negative dalam menyikapi pendapat dan keyakinan yang berbeda.[3] Socrates mendefinisikan toleransi dalam Charmides  bahwa ia adalah posisi moderat antara dogmatism dan relativisme skeptis, di mana banyak orang menyuarakan relativisme atas nama toleransi sebagai reaksi terhadap fanatisme. Maka, toleransi Socrates tidak menuntut peniadaan reaksi emosi saat menyikapi perbedaan, namun toleransi diperlukan untuk menahan dan mengendalikan emosi agar tidak menimbulkan dampak negative terhadap pendapat dan keyakinan yang berbeda. 
Dalam perkembangannya, seorang filosof asal California, Josiah Royce,  menyatakan bahwa toleransi harus dijunjung tinggi dengan menghormati loyalitas dan ketulusan orang-orang dalam memeluk keyakinannya. Namun, kita harus menoleransi loyalitas-loyalitas orang lain selama loyalitas tersebut tidak mengajak mereka melakukan tindakan destruktif yang merusak tatanan hokum dan kemanusiaan. Ia menekankan bahwa toleransi mempunyai batas, yakni toleransi tidak bisa menoleransi tindakan-tindakan intoleran.[4]
Toleransi dalam filsafat Socrates yang lekat dengan sikap moderat antara dogmativisme dan relativisme itu sejajar dengan konsep toleransi al-Syafi’I yang tercermin dalam semboyannya: “Pendapatku benar tetapi mungkin salah, dan  pendapat orang lain salah tetapi mungkin benar”. Di sini Imam as-Syafi’I berusaha menghindar dari dogmatism dan absolutism, namun juga menyingkir dari jebakan-jebakan relativisme yang membenarkan semua pendapat tergantung perspektif masing-masing.[5]
Dengan demikian, pengertian yang dapat kita simpulkan dari istilah muslim toleran adalah seorang pemeluk agama Islam yang memiliki kebenaran yang ia yakini dan mampu mengendalikan diri dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang dihadapi tanpa terjebak pada relativitas yang samar.

Sikap Muslim Toleran terhadap Terbentuknya NKRI
Muslim yang toleran seyogyanya mendukung terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjunjung tinggi keragaman budaya dan berasaskan pancasila, sebab negara ini digagas oleh para pendahulu karena buah dari pahit getir pengalaman sejarah nusantara sendiri:[6]
  1. Sejarah panjang nusantara (peradaban besar Hindhu, Budha, Islam) selama masa kerajaan  telah memperkuat kesadaran tentang signifikansi melestarikan kekayaan dan keragaman budaya & tradisi bangsa
  2. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan Sunan Kalijaga (melalui muridnya Sultan Adiwijoyo, Juru Martani, Senopati Ing Alogo) serta keteladanan lainnya dengan tepat mengungkapkan kesadaran spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.
  3. Para pendiri bangsa sadar bahwa pancasia tidak bertentangan dengan agama, tapi merefleksikan pesan-pesan utama semua agama yang dalam Islam disebut sebagai maqoshid syri’ah, yaitu kemaslahatan umum.
Muktamar NU ke XXVII di Situbondo th 1984, NU sebagai ormas Islam pertama, telah mendeklarasikan pancasila sebagai asas tunggal. Dasarnya adalah la raison deter, bahwa Pancasila selaras dengan Islam.[7] Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan surat al-Ikhlash; Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab sesuai dengan ajaran kemanusiaan (hablun min an-naas) yg menuntun manusia agar berlaku adil kepada siapapun dan menjaga adan dan akhlaq sebagai orang beriman; sila ketiga, Persatuan Indonesia sangat konsekuen dengan doktrin ukhuwah (persaudaraan dan persatuan) dalam ajaran Islam yang kemudian tertuang dalam bentuk ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan seiman), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan setanah air dan sebangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesame manusia) dalam ikatan persatuan yang kokoh; sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan sesuai ajaran musyawarah (permusyawaratan) dan jama’ah (kebersamaan dalam satu komunitas/ rakyat) yang diatur berdasarkan musyawarah dan mufakat sebagaimana diperintahkan oleh Al-Qur’an agar umat manusia bermusyawarah dalam menentukan masa depan; sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah penegakan hokum (al-hukm) dan keadilan (al-‘adalah) yang semestinya sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Sayangnya, tidak semua Muslim Indonesia memiliki kesadaran jiwa nasionalisme yang tinggi. Alih-alih membela Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka justru menganggap bahwa Negara ini harus dikukuhkan menjadi Negara Islam yang hukum positif dan system pemerintahannya harus disesuaikan dengan aturan syari’at Islam. Ideologisasi Islam akan mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya sebuah kalangan yang ingin menjadikan Islam sebagai ideology alternative terhadap pancasila.
Salah satu factor penyebab perbedaan pandangan pemikiran Islam oleh kaum muslimin di Indonesia adalah perbedaan pemahaman kandungan al-Qur’an surat al-Baqoroh [2] ayat 208:
يا أيها الذين آمنوا ادخلوا فى السلم كافة
Di sinilah letak perbedaan yang sangat fundamental di antara kaum muslimin. Kalau kata “as-silmi” diterjemahkan menjadi kata Islam, dengan sendirinya mengharuskan adanya sebuah entitas Islam formal, dengan keharusan menciptakan system yang Islami. Sedangkan mereka yang menterjemahkan kata tersebut dengan arti perdamaian, menunjukkan sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah system tertentu, termasuk system Islami.[8] Dan seorang muslim yang toleran tidak akan memaksakan adanya sebuah system yang mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin dalam sebuah Negara.

Sikap Muslim Toleran terhadap Hukum Positif Negara
Bicara tentang maraknya ideologisasi Islam di Indonesia, kiranya kita patut membahas ayat al-Qur’an surat al-Maaidah [5] ayat 44:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Ayat di atas menerangkan tentang kecaman Allah terhadap orang-orang yang tidak berpegang teguh pada hukum syar’i. Maka sebagai muslim yang hidup di Indonesia di mana kita hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain, bagaimana seharusnya kita memandang posisi hukum Islam dalam hukum positif? Apakah kita akan termasuk dalam ayat wa man lam yahkum bi ma anzala Allahu fa ula’ika hum al-kaafiruun jika tidak menggunakan hukum Allah dalam hukum negara?
Dalam ayat di atas disebutkan kata al-kafirun, ayat lain menggunakan redaksi fasiqun dan dhalimun. Ini merupakan konsekuensi dari orang yang tidak mengamalkan hokum yang didatangkan dari syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Ketika pelaku dicap kafir oleh syari’, maka apa yang dilakukan adalah haram. Selanjutnya dalam ayat tersebut menggunakan kata maa. Dalam ushul fiqh, kata maa termasuk lafadh ‘am. Yaitu mencakup semua arti yang ada di bawahnya.
Hampir semua referensi ushul fiqh mengatakan bahwa hukum merupakan khithab Allah. Titah Allah ini ditunjukkan melalui al-Qur’an, baik secara tekstual maupun kontekstual. Dalam penentuan sebuah hukum, ada dua hal yang selalu mendampingi, yaitu mabda’ dan bentuk operasional.[9] Pertama, mabda’, yaitu prinsip atau obsesi dalam penetapan hukum. Seperti kemaslahatan, keadilan, pencegahan akan terjadinya pelanggaran yang kedua kali dan semacamnya. Kedua, bentuk operasional, yaitu bagaimana cara pelaksanaannya di lapangan. Seperti hukum Tuhan tentang had zina, qishash dan sebagainya.
Kita ambil sebuah contoh tentang hukum potong tangan dalam al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an surat al-Ma’idah [5] ayat 38 disebutkan:
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله
Ayat di atas mengandung 2 inti makna. Pertama, yaitu al-zajru (pencegahan terjadi yang kedua kali) yang merupakan semangat dari ayat ini, bahwa Tuhan menginginkan efek jera pelaku dan agar tidak ditiru oleh orang lain. Kedua, yaitu petunjuk operasional hukuman pencurian. Tentunya setelah melihat realita yang ada, kita perlu menimbang dan memperhatikan, apakah hukum potong tangan ini bisa kita terapkan di Indonesia? Mungkinkah kondisi sekitar menerimanya? Inilah yang oleh sebagian ulama’ disebut dengan qath’I min haitsu ad-dalil (tidak menerima penafsiran lain) dan dhanni min haitsu at-tathbiq (memungkinkan untuk ditafsiri yang lain dalam tataran aplikasinya). Di sinilah fungsi mabda’. Bahwa jika bentuk operasional yang ditunjukkan oleh Tuhan bertentangan dengan kondisi dan situasi yang melingkupinya, maka tentu harus dikembalikan kepada mabda’ (prinsip dasar) dari hukum tersebut. Maka, menjadi sangat memungkinkan untuk menerapkan hukum-hukum yang lain. Asalkan tidak keluar dari koridor tujuan syar’I, ruh tasyri’ (pembentukan hukum) dan kemaslahatan umat.[10]  
Kembali ke permasalahan awal, maka bagaimanakah kita sebagai muslim Indonesia harus bersikap terhadap penerapan hukum positif  Negara yang tidak sesuai dengan aturan syara’? Apakah kita akan mendapat cap kafirun/ dholimun/ fasiqun seperti yang tertera dalam surat al-Maidah? Syekh Ikrimah menyatakan bahwa ayat itu hanya untuk hakim yang mengingkari ketentuan Allah. Sementara hakim yang –hati dan lisannya- mengakui bahwa hukum itu  merupakan hukum dari Allah, kemudian dia tidak menetapkan dengan hukum itu, maka sebetulnya dia juga menetapkan hukum sesuai dengan firman Tuhan. Cuma dia meninggalkan bentuk yang diberikan Tuhan dan menggantinya dengan yang senada dan seirama. Hukum yang seperti ini tidak masuk dalam ayat tersebut.[11]
Jika sebagian orang memaksakan aturan syari’at dalam hokum Negara atau bentuk Perda, lalu bagaimanakah sikap kita menghadapi ekskalasi formalisasi dan Islamisasi dalam bentuk Perda Syari’at ini? Agaknya kita perlu mengikuti Kyai Sahal Mahfudh yang fiqh sosialnya bergerak tampil ke depan untuk memberikan pencerahan kepada umat muslim. Beliau menawarkan fiqh sosial sebagai etika sosial, tidak punya ambisi menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif Negara. Karena Formalisasi dan Islamisasi berpotensi besar terjadinya politisasi syari’at demi kepentingan segelintir elit. Selain itu, formalisasi syari’at Islam membutuhkan gerakan kolosal, berupa penyadaran psykologis personal, kedalaman spriritualitas dan religiusitas, kecerdasan pendidikan masyarakat, kolektifitas dan harmoni sosial.[12] Artinya, gerakan formal harus didahului oleh gerakan kultural. Sebaik apapun Perda Syari’at, kalau proses pembumiannya berjalan cepat, main paksa, melalui aparat kepolisian, maka aplikasinya tidak akan membawa penyadaran sosial, tidak berumur lama, justru masyarakat akan merasakan Perda Syari’at sebagai ‘hantu’ di siang bolong, menyeramkan, menakutkan, menghegemoni dan terkesan anarkis-represif.
Bisa kita bayangkan, dalam lingkup eksternal bagaimana perasaan umat non-muslim. Mereka akan merasa termarginalkan dalam Negara yang katanya menjunjung tinggi nilai toleransi, egalitarianism dan demokratisasi, tidak ada yang dianakemaskan karena latar belakang agama, etnis, ras dan antar golongan.
Dalam konteks inilah, mendesak menggeserkan paradigm, dari fiqh formalistic yang menekankan formalisasi, menjadi fiqh yang menjadi etika sosial, fiqh yang nilai-nilai dan ajaran-ajarannya terinternalisir dan terkulturalisasi dalam hidup keseharian masyarakat.[13] Mencontoh Walisongo yang sukses mengislamkan masyarakat Jawa dengan pendekatan budayanya adalah contoh riil mengenai pentingnya menjadikan fiqh sebagai etika sosial lewat instrumen-instrumen budaya yang bisa diterima masyarakat secara tulus, tanpa ada paksaan structural.

Sikap Muslim Toleran dalam Berdakwah
Sikap penghormatan terhadap orang lain idealnya juga dilakukan dalam hal berdakwah kepada umat manusia, baik yang muslim/ non muslim. Prilaku menghargai dan menghormati dalam berdakwah kerap dilakukan oleh para wali yang menyebarkan Islam di Indonesia, bahkan itu menjadi strategi utama dalam berdakwah di kalangan para wali tersebut. Dengan budaya lokal, Sunan Giri mengambil hati masyarakat melalui tembang/ permainan yang bernafaskan Islam, Sunan Bonang mengaransemen musik dan mencipta berbagai alat musik tradisional, Sunan Kalijaga berdakwah secara elegan, humanis dan menghargai adat istiadat masyarakat, memunculkan masterpiece karya budaya dalam bentuk wayang kulit.
Tujuan utama berdakwah beliau adalah membina akhlaq yang merupakan pembentukan karakter seseorang, di mana teknis metodenya adalah dengan membutuhkan pendekatan yang baik, pendekatan yang penuh dengan kasih sayang. Landasan sikap kasih sayang yang terwujud dalam metode dakwah itu adalah ayat al-Qur’a Surat al-Anbiya’ ayat 107
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Ayat tersebut merupakan tujuan utama diutusnya Rasulullah Saw di dunia. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa misi utama nabi adalah menebar kasih sayang yang bersifat universal, bukan parsial atau sebatas untuk kalangan tertentu. Kata al-‘aalamin dalam ayat tersebut menunjukkan universalitas dari misi menebar kasih sayang. Seluruh alam semesta yang menjadi arti kata tersebut merujuk pada keanekaragaman makhluq di dunia ini, baik dari segi jenis, suku, ras, golongan maupun keyakinannya.  Dan secara teknis ayat tersebut didukung oleh hadits Nabi Muhammad Saw:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Dalam hal metode dakwah, al-Qur’an menawarkan metode aktivitas dakwah dalam surat an-Nahl ayat 125:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هي أحسن
Melalui ayat di atas, Prof. Quraisy Shihab memetakan metode dakwah sesuai dengan obyek dakwah dengan perincian sebagai berikut:[14]
1.             Hikmah, dilakukan terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi kita berdialog dengan kata bijak yang mendatangkan kemaslahatan/ kemudahan dan menghalangi madlorot/ kesulitan.
2.             Mau’idhoh hasanah, dilakukan terhadap kaum awam kita memberi nasehat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa diserrtai pengamalan dan keteladanan.
3.             Jidal, dilakukan terhadap ahli kitab/ penganut agama lain kita melakukan perdebatan dengan cara yang terbaik, dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.

Sikap Muslim Toleran dalam Menyikapi Perbedaan Keyakinan
Toleransi Islam sering dihubungkan dengan ayat “tidak ada paksaan dalam agama” (Q.S. al-Baqarah [2]: 256). Firman Allah ini menurut Ibnu ‘Abbas turun sehubungan dengan kasus seorang Anshar bernama Husain yang memaksa kedua anaknya yang memeluk agama Kristen agar pindah ke agama Islam. Namun kedua anaknya menolak paksaan itu. Kemudian, ayat ini turun merespons secara eksplisit bahwa pemaksaan keyakinan adalah tindakan yang terlarang.[15] Islam secara bahasa bermakna berserah diri dengan penuh ketulusan, ketundukan, kesadaran dan keikhlasan. Oleh karena itu, Islam menjunjung tinggi kebebasan beragama karena persoalan keyakinan adalah masalah hati yang tidak bisa dipaksakan. Semangat toleransi Islam yang menolak paksaan dikukuhkan oleh firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat Yunus [10] ayat 99:
ولو شآء ربك لآمن من فى الأرض كلهم جميعا أفأنت تكره الناس حتى يكونوا مؤمنين
Toleransi Islam dibangun atas alasan-alasan menghormati kebebasan berpendapat dan berkeyakinan dan komitmen untuk hidup berdampingan secara damai.
Toleransi dalam tradisi Islam sejalan dengan filsafat Stoicisme yang menekankan urgensi control emosi dalam menyikapi perbedaan. Imam al-Ghozali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, mengulas pentingnya control emosi dalam menghargai perbedaan. Menurutnya, selama manusia bisa mencintai dan membenci, maka manusia tidak akan lepas dari emosi dan kemarahan. Namun, manusia harus bisa mengendalikan emosinya, di mana hal ini dapat dilakukan dengan 6 langkah: 1) Merenungi keutamaan memaafkan dan menahan amarah, 2) Takut pada siksa Allah terhadap pemarah, 3) Menghindari ekses negative dari permusuhan, 4) Membayangkan raut wajah yang amat jelek seperti binatang buas saat marah-marah, 5) Berfikir ulang tentang penyebab kemarahan, 6) Menyadari bahwa kemarahan keluar dari kesombongan karena pemarah merasa seakan-akan prilakunya sesuai dengan maksud Allah.[16]

Sikap Muslim Toleran dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Toleransi seyogyanya dibangun di atas budaya kritis di mana orang-orang bisa saling menegur dan menasehati apabila ada anggota masyarakat yang merusak kode etik sosial.[17] Toleransi etis tidak menafikan urgensi control sosial melalui amar ma’ruf nahi munkar yang dianjurkan dalam al-Qur’an surat al-Ashr ayat 2-3. Mekanismenya adalah menyeru dengan penuh hikmah dan kesopanan. Amar ma’ruf bukan main hakim sendiri dengan kekerasan melainkan menyeru dengan kelembutan, sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imron [3] ayat 159:
فبما رحمة من الله تعالى لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin mengingatkan kita bahwa tindakan main hakim sendiri dengan kekerasan sama sekali tidak dibenarkan meski dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar. Beliau menjelaskan tingkatan-tingkatan amar ma’ruf nahi munkar sebagai berikut:[18] 1) Memberi tahu, 2) Menasehati, 3) Menegur dengan kata-kata keras, 4) Mencegah secara paksa dengan sanksi hukuman. Tingkatan pertama dan kedua boleh dilakukan oleh warga sipil maupun pemerintah. Tingkatan ketiga dengan teguran keras –seperti kata wahai orang dhalim dan wahai orang yang tak takut Tuhan- boleh dilakukan oleh warga sipil dan pemerintah apabila tidak menyebabkan fitnah kepada orang lain. Adapun tingkatan keempat hanya boleh dilakukan oleh pemerintah.
Adapun mengenai hadits man ro’a minkum munkaron falyughoyyir biyadih, fa in lam yastathi’ fa bilisanih, fa in lam yastathi’ fa biqolbih, wa dzalika min adl’afil iman, muslim yang toleran memahami bahwa aksi secara fisik adalah otoritas pemerintahan/ penguasa, bukan otoritas individual. Sedangkan yang kedua, dengan lisan (dan para ulama’ meyakini juga dengan tulisan), adalah wilayah yang bisa diperankan oleh individu-individu yang alim/ berpengetahuan, mengerti masalah agama secara mendalam. Tidak mampu memberi peringatan secara lisan maupun tulisan, hanya menyesali di dalam hati, menunjukkan lemahnya iman. Karena orang yang demikian, salah satunya bodoh karena tidak belajar untuk meningkatkan pengetahuannya, atau malas dan tidak mau tahu dengan permasalahan masyarakatnya.[19]
Ini pulalah yang membedakan aksi muslim toleran dengan muslim garis keras. Seorang muslim yang radikal mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar sebagai legitimasi untuk melakukan pemaksaan, kekerasan dan penyerangan terhadap siapapun yang berbeda. Mereka juga menggunakan konsep rohmah lil ‘alamin sebagai dalih formalisasi Islam, memaksa pihak lain menyetujui tafsir mereka dan menuduh siapapun yang berbeda atau bahkan menolak tafsir mereka sebagai menolak konsep rohmah lil ‘alamin sebelum akhirnya dicap sebagai murtad dan kafir yang berhak diperangi.[20] Maka, warga Negara non muslim akan merasa tidak nyaman hidup di tanah air sendiri, begitu pula warga muslim yang pemahaman keagamaannya tidak selaras dengan muslim yang berfaham radikal. Tindakan intoleran muslim radikal ini nantinya akan berujung pada perpecahan warga, saling membunuh dan meluluhlantakkan kesatuan Negara.



PENUTUP

Dari makalah ini, kita dapat menyimpulkan bahwa:
-          Muslim toleran adalah pemeluk agama Islam yang memiliki kebenaran yang ia yakini dan mampu mengendalikan diri dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang dihadapi tanpa terjebak pada relativitas yang samar. Di samping, itu ia tetap melaksanakan toleransi etis yang tidak menafikan urgensi control sosial melalui amar ma’ruf nahi munkar, di mana ia berusaha mewujudkannya dengan tindakan yang penuh hikmah dan kesopanan.
-          Demi utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila dan mementingkan kerukunan warga yang beragam, kita perlu membangun jiwa muslim toleran yang:
1.      Menjunjung tinggi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negeri kesatuan yang melindungi seluruh warga
2.      Memahami hokum positif Negara sebagai hokum yang patut dilaksanakan, dan bahwa operasional hokum positif yang tidak sesuai dengan aturan syari’at tidak perlu dipermasalahkan selama dasar penetapan hukumnya sama.
3.      Menyikapi perbedaan keyakinan antar sesame dengan arif dan tanpa paksaan
4.      Beramar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan proposional dan posisi masing-masing
5.      Berdakwah dengan cara yang halus dan sopan.





[1] Alfiyah Ashmad dkk, Muslim Marhamah, Citra Diri Muslim Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jombang: PCNU Jombang, 2011), hal: 4
[2] M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudlu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), hal: 378
[3] Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, Teologi Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Mizan, 2011), hal: 7
[4] Ibid, hal: 14
[5] Ibid, hal: 16
[6] Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hal: 16-17
[7] Mohammad Baharun, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012), hal: 233-234
[8] Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal: 3
[9] Ma’had Aly Situbondo, Fiqh Realitas, Respon Ma’had Aly terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal: 49
[10] Muhammad Fathi al-Dairani, al-Manahij al-Ushuliyyah fi al-Ijtihad bi al-Ra’yi fi Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), hal: 32
[11] Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin al-Hasan al-Razi, at-Tafsir al-Kabir, vol. XII, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), hal: 6
[12] Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal, Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya: Khalista, 2007), hal: 108-109
[13] Ibid, hal: 110
[14] Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 16, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal: 384-385
[15] Wahbah al-Zuhayli, al-Mausu’ah al-Qur’aniyyah al-Muyassarah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1423), hal: 43
[16] Abu Hamid al-Ghozali, Ihya’ Ulum al-Din, vol III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002), hal: 227-233
[17] Irwan Masduqi, op.Cit., hal: 26
[18] Abu Hamid al-Ghozali, Ihya’ Ulum al-Din, vol II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002), hal: 458
[19] Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hal: 65-66
[20] Ibid, hal: 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar