PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah negara yang mengayomi rakyat dari berbagai suku, ras, agama dengan adat
istiadat dan budaya yang beragam. Setiap pemeluk agama dijamin kebebasannya
oleh Negara dan mendapat hak dan kewajiban yang sama sebagai warga. Negara
Kesatuan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu ini memiliki sejarah
panjang dan berat yang mengokohkan penggagasnya untuk senantiasa melestarikan
kekayaan budaya dan sejarah yang dimilikinya. Maka, para pendahulu itu pun
menggagas pancasila sebagai ideology Negara yang menjadi dasar hokum yang
mengatur segala hal kenegaraan.
Namun, dalam perjalanannya tak semulus
yang dikira. Penganut agama yang majemuk ini tidak semua bisa menerima dengan
hati terbuka atas terbentuknya NKRI. Beberapa kalangan dari kaum muslimin
menganggap bahwa Negara Indonesia tidak bisa menjadi Negara yang sah selama
pemerintahannya belum menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh. Menurut
mereka, seharusnya aturan yang dijalankan adalah aturan yang sesuai dengan
sumber al-Qur’an dan al-Hadits demi mencapai terbentuknya Negara yang syar’I
dan diridloi Tuhan. Ide-ide itu pun tertancap kuat di hati mereka dan semakin
mengobarkan semangat mereka untuk mendirikan Negara Islam di tengah kemajemukan
warganegara Indonesia.
Menurut Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam sebuah
pengantar di buku Ilusi Negara Islam, di antara salah satu factor yang
menyebabkan terbentuknya jiwa fundamentalis dari kalangan muslim adalah
ketidakpuasan mereka karena
kegagalan Negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial
dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Kaum
fundamentalis menginginkan menempuh jalan pintas bagi tegaknya keadilan, yaitu
melaksanakan syari’at Islam melalui kekuasaan. Jika secara nasional belum
mungkin maka diupayakan melalui Perda-Perda. Dalam bayangan mereka, dengan
pelaksanaan syari’ah ini, Tuhan akan meridloi Indonesia.
Seiring dengan tumbuhnya mereka,
aksi anarkis semakin banyak terjadi. Kekerasan atas nama agama dengan dalih
amar ma’ruf nahi munkar merajalela. Kaum fundamentalis yang berparadigma
pemikiran islam politik legal-eksklusif itu membinasakan bahkan menganggap
kafir siapa saja yang ideologinya bertentangan dengan pemahaman keyakinan
mereka. Kejahatan yang merajalela ini tentunya karena sempitnya pandangan mereka
atas teks-teks al-Qur’an dan al-hadits sehingga membakar habis sikap-sikap
toleransi yang seharusnya dijunjung tinggi umat Islam.
Maka, hidup di Negara yang
menjunjung tinggi kebhinekaan ini semestinya justru menjadi api utama yang mengobarkan
jiwa toleransi seluruh umat Islam. Bagaimana seharusnya sikap kita sebagai kaum
muslim di Indonesia yang hidup berdampingan dengan pemeluk agama yang lain? Apa
yang harus kita lakukan demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan yang telah mendahului?
Di makalah ini, akan kami paparkan
tentang bagaimana muslim harus bersikap toleran demi menjaga keutuhan Negara,
yaitu sikap toleransi seorang muslim pada terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, toleransi muslim terhadap hokum positif Negara, toleransi muslim
dalam perbedaan keyakinan, toleransi muslim dalam amar ma’ruf nahi munkar dan
toleransi muslim dalam berdakwah.
PEMBAHASAN
Definisi Muslim Toleran
Istilah “Muslim” bermakna
orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan atau orang yang mencari kedamaian
Tuhan. Term “muslim” ini merupakan rangkaian kata aslama – yuslimu – islaam
yang berarti menyerah atau mencari kedamaian.
Kata Islam (ketundukan, kepasrahan dan kedamaian) merupakan bentuk kata
benda verbal yang searti dengan bentuk adjektif muslim (tunduk, pasrah dan
damai). Secara teknis operasional, kata muslim dimaknai sebagai orang yang
memeluk agama Islam. Dalam hal ini Islam dimaknai sebagai ajaran agama yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. [1]
Kedamaian dan perdamaian adalah kata
kunci untuk melihat hakikat diri seorang muslim. Agaknya, cukup dengan memahami
makna agama Islam, seseorang dapat mengetahui bahwa ia adalah agama yang
mendambakan perdamaian. Cukup juga dengan mendengarkan ucapan yang dianjurkan
untuk disampaikan pada setiap pertemuan, “assalamu ‘alaikum” (damai dan
keselamatan untuk anda), seseorang dapat menghayati bahwa kedamaian yang
didambakan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk pihak lain.[2]
Maka tidak heran jika salah satu ciri muslim adalah seperti sabda Nabi Muhammad
Saw:
المسلم من
سلم المسلمون من لسانه ويده
“Seorang muslim adalah siapa yang menyelamatkan orang lain (yang
mendambakan kedamaian) dari gangguan lidah dan tangannya.”
Sedangkan kata toleransi, dalam
bahasa Yunani disebut dengan istilah “sophrosyne” yang artinya adalah
moderasi atau mengambil jalan tengah. Istilah toleransi berasal dari bahasa
Latin “tolerantia” yang artinya menahan. Jika dikaitkan dengan perbedaan
pendapat dan keyakinan, maka toleransi adalah sikap menahan diri untuk tidak
menggunakan cara-cara negative dalam menyikapi pendapat dan keyakinan yang
berbeda.[3]
Socrates mendefinisikan toleransi dalam Charmides bahwa ia adalah posisi moderat antara
dogmatism dan relativisme skeptis, di mana banyak orang menyuarakan relativisme
atas nama toleransi sebagai reaksi terhadap fanatisme. Maka, toleransi Socrates
tidak menuntut peniadaan reaksi emosi saat menyikapi perbedaan, namun toleransi
diperlukan untuk menahan dan mengendalikan emosi agar tidak menimbulkan dampak
negative terhadap pendapat dan keyakinan yang berbeda.
Dalam
perkembangannya, seorang filosof asal California, Josiah Royce, menyatakan bahwa toleransi harus dijunjung
tinggi dengan menghormati loyalitas dan ketulusan orang-orang dalam memeluk
keyakinannya. Namun, kita harus menoleransi loyalitas-loyalitas orang lain
selama loyalitas tersebut tidak mengajak mereka melakukan tindakan destruktif
yang merusak tatanan hokum dan kemanusiaan. Ia menekankan bahwa toleransi
mempunyai batas, yakni toleransi tidak bisa menoleransi tindakan-tindakan
intoleran.[4]
Toleransi dalam
filsafat Socrates yang lekat dengan sikap moderat antara dogmativisme dan
relativisme itu sejajar dengan konsep toleransi al-Syafi’I yang tercermin dalam
semboyannya: “Pendapatku benar tetapi mungkin salah, dan pendapat orang lain salah tetapi mungkin
benar”. Di sini Imam as-Syafi’I berusaha menghindar dari dogmatism dan
absolutism, namun juga menyingkir dari jebakan-jebakan relativisme yang
membenarkan semua pendapat tergantung perspektif masing-masing.[5]
Dengan demikian, pengertian yang
dapat kita simpulkan dari istilah muslim toleran adalah seorang pemeluk agama
Islam yang memiliki kebenaran yang ia yakini dan mampu mengendalikan diri dalam
menyikapi perbedaan-perbedaan yang dihadapi tanpa terjebak pada relativitas
yang samar.
Sikap Muslim Toleran terhadap Terbentuknya NKRI
Muslim yang toleran seyogyanya
mendukung terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjunjung
tinggi keragaman budaya dan berasaskan pancasila, sebab negara ini digagas oleh
para pendahulu karena buah dari pahit getir pengalaman sejarah nusantara
sendiri:[6]
- Sejarah panjang nusantara (peradaban besar
Hindhu, Budha, Islam) selama masa kerajaan
telah memperkuat kesadaran tentang signifikansi melestarikan
kekayaan dan keragaman budaya & tradisi bangsa
- Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan
Sunan Kalijaga (melalui muridnya Sultan Adiwijoyo, Juru Martani, Senopati
Ing Alogo) serta keteladanan lainnya dengan tepat mengungkapkan kesadaran
spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya
dari perpecahan sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.
- Para pendiri bangsa sadar bahwa pancasia
tidak bertentangan dengan agama, tapi merefleksikan pesan-pesan utama
semua agama yang dalam Islam disebut sebagai maqoshid syri’ah, yaitu
kemaslahatan umum.
Muktamar NU ke XXVII di Situbondo
th 1984, NU sebagai ormas Islam pertama, telah mendeklarasikan pancasila
sebagai asas tunggal. Dasarnya adalah la raison deter, bahwa Pancasila
selaras dengan Islam.[7]
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan surat al-Ikhlash; Sila
kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab sesuai dengan ajaran kemanusiaan
(hablun min an-naas) yg menuntun manusia agar berlaku adil kepada siapapun dan
menjaga adan dan akhlaq sebagai orang beriman; sila ketiga, Persatuan Indonesia
sangat konsekuen dengan doktrin ukhuwah (persaudaraan dan persatuan) dalam
ajaran Islam yang kemudian tertuang dalam bentuk ukhuwwah Islamiyah
(persaudaraan seiman), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan setanah air dan
sebangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesame manusia) dalam ikatan
persatuan yang kokoh; sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan sesuai ajaran musyawarah (permusyawaratan)
dan jama’ah (kebersamaan dalam satu komunitas/ rakyat) yang diatur berdasarkan
musyawarah dan mufakat sebagaimana diperintahkan oleh Al-Qur’an agar umat
manusia bermusyawarah dalam menentukan masa depan; sila kelima, keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia adalah penegakan hokum (al-hukm) dan keadilan
(al-‘adalah) yang semestinya sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an dan Sunnah
Nabi.
Sayangnya, tidak semua Muslim
Indonesia memiliki kesadaran jiwa nasionalisme yang tinggi. Alih-alih membela
Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka justru menganggap bahwa Negara ini
harus dikukuhkan menjadi Negara Islam yang hukum positif dan system
pemerintahannya harus disesuaikan dengan aturan syari’at Islam. Ideologisasi
Islam akan mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah
pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Implikasi
paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya sebuah kalangan yang
ingin menjadikan Islam sebagai ideology alternative terhadap pancasila.
Salah satu factor penyebab
perbedaan pandangan pemikiran Islam oleh kaum muslimin di Indonesia adalah
perbedaan pemahaman kandungan al-Qur’an surat al-Baqoroh [2] ayat 208:
يا أيها الذين آمنوا ادخلوا فى السلم كافة
Di sinilah letak perbedaan yang
sangat fundamental di antara kaum muslimin. Kalau kata “as-silmi” diterjemahkan
menjadi kata Islam, dengan sendirinya mengharuskan adanya sebuah entitas Islam
formal, dengan keharusan menciptakan system yang Islami. Sedangkan mereka yang
menterjemahkan kata tersebut dengan arti perdamaian, menunjukkan sebuah entitas
universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah system tertentu, termasuk
system Islami.[8] Dan seorang muslim yang
toleran tidak akan memaksakan adanya sebuah system yang mewakili keseluruhan
aspirasi kaum muslimin dalam sebuah Negara.
Sikap Muslim Toleran terhadap Hukum Positif Negara
Bicara tentang maraknya ideologisasi
Islam di Indonesia, kiranya kita patut membahas ayat al-Qur’an surat al-Maaidah
[5] ayat 44:
ومن لم يحكم
بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Ayat di atas menerangkan tentang
kecaman Allah terhadap orang-orang yang tidak berpegang teguh pada hukum
syar’i. Maka sebagai muslim yang hidup di Indonesia di mana kita hidup
berdampingan dengan pemeluk agama lain, bagaimana seharusnya kita memandang
posisi hukum Islam dalam hukum positif? Apakah kita akan termasuk dalam ayat wa
man lam yahkum bi ma anzala Allahu fa ula’ika hum al-kaafiruun jika tidak
menggunakan hukum Allah dalam hukum negara?
Dalam ayat di atas disebutkan kata al-kafirun,
ayat lain menggunakan redaksi fasiqun dan dhalimun. Ini merupakan
konsekuensi dari orang yang tidak mengamalkan hokum yang didatangkan dari
syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Ketika pelaku dicap kafir oleh syari’,
maka apa yang dilakukan adalah haram. Selanjutnya dalam ayat tersebut
menggunakan kata maa. Dalam ushul fiqh, kata maa termasuk lafadh
‘am. Yaitu mencakup semua arti yang ada di bawahnya.
Hampir semua referensi ushul fiqh
mengatakan bahwa hukum merupakan khithab Allah. Titah Allah ini ditunjukkan
melalui al-Qur’an, baik secara tekstual maupun kontekstual. Dalam penentuan
sebuah hukum, ada dua hal yang selalu mendampingi, yaitu mabda’ dan bentuk
operasional.[9] Pertama, mabda’, yaitu
prinsip atau obsesi dalam penetapan hukum. Seperti kemaslahatan, keadilan,
pencegahan akan terjadinya pelanggaran yang kedua kali dan semacamnya. Kedua,
bentuk operasional, yaitu bagaimana cara pelaksanaannya di lapangan. Seperti hukum
Tuhan tentang had zina, qishash dan sebagainya.
Kita ambil sebuah contoh tentang hukum
potong tangan dalam al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an surat al-Ma’idah [5] ayat 38 disebutkan:
والسارق
والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله
Ayat di atas mengandung 2 inti
makna. Pertama, yaitu al-zajru (pencegahan terjadi yang kedua kali) yang
merupakan semangat dari ayat ini, bahwa Tuhan menginginkan efek jera pelaku dan
agar tidak ditiru oleh orang lain. Kedua, yaitu petunjuk operasional hukuman
pencurian. Tentunya setelah melihat realita yang ada, kita perlu menimbang dan
memperhatikan, apakah hukum potong tangan ini bisa kita terapkan di Indonesia?
Mungkinkah kondisi sekitar menerimanya? Inilah yang oleh sebagian ulama’
disebut dengan qath’I min haitsu ad-dalil (tidak menerima penafsiran
lain) dan dhanni min haitsu at-tathbiq (memungkinkan untuk ditafsiri
yang lain dalam tataran aplikasinya). Di sinilah fungsi mabda’. Bahwa jika bentuk
operasional yang ditunjukkan oleh Tuhan bertentangan dengan kondisi dan situasi
yang melingkupinya, maka tentu harus dikembalikan kepada mabda’ (prinsip dasar)
dari hukum tersebut. Maka, menjadi sangat memungkinkan untuk menerapkan hukum-hukum
yang lain. Asalkan tidak keluar dari koridor tujuan syar’I, ruh tasyri’
(pembentukan hukum) dan kemaslahatan umat.[10]
Kembali ke permasalahan awal, maka
bagaimanakah kita sebagai muslim Indonesia harus bersikap terhadap penerapan
hukum positif Negara yang tidak sesuai
dengan aturan syara’? Apakah kita akan mendapat cap kafirun/ dholimun/
fasiqun seperti yang tertera dalam
surat al-Maidah? Syekh Ikrimah menyatakan bahwa ayat itu hanya untuk
hakim yang mengingkari ketentuan Allah. Sementara hakim yang –hati dan lisannya-
mengakui bahwa hukum itu merupakan hukum
dari Allah, kemudian dia tidak menetapkan dengan hukum itu, maka sebetulnya dia
juga menetapkan hukum sesuai dengan firman Tuhan. Cuma dia meninggalkan bentuk
yang diberikan Tuhan dan menggantinya dengan yang senada dan seirama. Hukum
yang seperti ini tidak masuk dalam ayat tersebut.[11]
Jika sebagian orang memaksakan
aturan syari’at dalam hokum Negara atau bentuk Perda, lalu bagaimanakah sikap
kita menghadapi ekskalasi formalisasi dan Islamisasi dalam bentuk Perda
Syari’at ini? Agaknya kita perlu mengikuti Kyai Sahal Mahfudh yang fiqh
sosialnya bergerak tampil ke depan untuk memberikan pencerahan kepada umat
muslim. Beliau menawarkan fiqh sosial sebagai etika sosial, tidak punya ambisi
menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif Negara. Karena Formalisasi dan
Islamisasi berpotensi besar terjadinya politisasi syari’at demi kepentingan
segelintir elit. Selain itu, formalisasi syari’at Islam membutuhkan gerakan
kolosal, berupa penyadaran psykologis personal, kedalaman spriritualitas dan
religiusitas, kecerdasan pendidikan masyarakat, kolektifitas dan harmoni
sosial.[12]
Artinya, gerakan formal harus didahului oleh gerakan kultural. Sebaik apapun
Perda Syari’at, kalau proses pembumiannya berjalan cepat, main paksa, melalui
aparat kepolisian, maka aplikasinya tidak akan membawa penyadaran sosial, tidak
berumur lama, justru masyarakat akan merasakan Perda Syari’at sebagai ‘hantu’
di siang bolong, menyeramkan, menakutkan, menghegemoni dan terkesan
anarkis-represif.
Bisa kita bayangkan, dalam lingkup
eksternal bagaimana perasaan umat non-muslim. Mereka akan merasa termarginalkan
dalam Negara yang katanya menjunjung tinggi nilai toleransi, egalitarianism dan
demokratisasi, tidak ada yang dianakemaskan karena latar belakang agama, etnis,
ras dan antar golongan.
Dalam konteks inilah, mendesak
menggeserkan paradigm, dari fiqh formalistic yang menekankan formalisasi,
menjadi fiqh yang menjadi etika sosial, fiqh yang nilai-nilai dan
ajaran-ajarannya terinternalisir dan terkulturalisasi dalam hidup keseharian
masyarakat.[13] Mencontoh Walisongo yang
sukses mengislamkan masyarakat Jawa dengan pendekatan budayanya adalah contoh
riil mengenai pentingnya menjadikan fiqh sebagai etika sosial lewat
instrumen-instrumen budaya yang bisa diterima masyarakat secara tulus, tanpa
ada paksaan structural.
Sikap Muslim Toleran dalam Berdakwah
Sikap penghormatan terhadap orang lain idealnya juga
dilakukan dalam hal berdakwah kepada umat manusia, baik yang muslim/ non
muslim. Prilaku menghargai dan menghormati dalam berdakwah kerap dilakukan oleh
para wali yang menyebarkan Islam di Indonesia, bahkan itu menjadi strategi
utama dalam berdakwah di kalangan para wali tersebut. Dengan budaya lokal,
Sunan Giri mengambil hati masyarakat melalui tembang/ permainan yang
bernafaskan Islam, Sunan Bonang mengaransemen musik dan mencipta berbagai alat
musik tradisional, Sunan Kalijaga berdakwah secara elegan, humanis dan
menghargai adat istiadat masyarakat, memunculkan masterpiece karya budaya dalam
bentuk wayang kulit.
Tujuan utama berdakwah beliau
adalah membina akhlaq yang merupakan pembentukan karakter seseorang, di mana
teknis metodenya adalah dengan membutuhkan pendekatan yang baik, pendekatan
yang penuh dengan kasih sayang. Landasan sikap kasih sayang yang terwujud dalam
metode dakwah itu adalah ayat al-Qur’a Surat al-Anbiya’ ayat 107
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Ayat tersebut merupakan tujuan utama
diutusnya Rasulullah Saw di dunia. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa misi
utama nabi adalah menebar kasih sayang yang bersifat universal, bukan parsial
atau sebatas untuk kalangan tertentu. Kata al-‘aalamin dalam ayat tersebut
menunjukkan universalitas dari misi menebar kasih sayang. Seluruh alam semesta
yang menjadi arti kata tersebut merujuk pada keanekaragaman makhluq di dunia
ini, baik dari segi jenis, suku, ras, golongan maupun keyakinannya. Dan secara teknis ayat tersebut didukung oleh
hadits Nabi Muhammad Saw:
إنما بعثت
لأتمم مكارم الأخلاق
Dalam hal metode dakwah, al-Qur’an menawarkan
metode aktivitas dakwah dalam surat an-Nahl ayat 125:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة
الحسنة وجادلهم بالتى هي أحسن
Melalui ayat di atas, Prof. Quraisy
Shihab memetakan metode dakwah sesuai dengan obyek dakwah dengan perincian
sebagai berikut:[14]
1.
Hikmah, dilakukan
terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi kita berdialog dengan
kata bijak yang mendatangkan kemaslahatan/ kemudahan dan menghalangi madlorot/
kesulitan.
2.
Mau’idhoh
hasanah, dilakukan terhadap kaum awam kita memberi nasehat dan perumpamaan yang
menyentuh jiwa diserrtai pengamalan dan keteladanan.
3.
Jidal, dilakukan
terhadap ahli kitab/ penganut agama lain kita melakukan perdebatan dengan cara
yang terbaik, dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan
umpatan.
Sikap Muslim Toleran dalam Menyikapi Perbedaan
Keyakinan
Toleransi Islam sering dihubungkan
dengan ayat “tidak ada paksaan dalam agama” (Q.S. al-Baqarah [2]: 256).
Firman Allah ini menurut Ibnu ‘Abbas turun sehubungan dengan kasus seorang
Anshar bernama Husain yang memaksa kedua anaknya yang memeluk agama Kristen
agar pindah ke agama Islam. Namun kedua anaknya menolak paksaan itu. Kemudian,
ayat ini turun merespons secara eksplisit bahwa pemaksaan keyakinan adalah
tindakan yang terlarang.[15]
Islam secara bahasa bermakna berserah diri dengan penuh ketulusan, ketundukan,
kesadaran dan keikhlasan. Oleh karena itu, Islam menjunjung tinggi kebebasan
beragama karena persoalan keyakinan adalah masalah hati yang tidak bisa
dipaksakan. Semangat toleransi Islam yang menolak paksaan dikukuhkan oleh
firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat Yunus [10] ayat 99:
ولو شآء ربك لآمن من فى الأرض كلهم جميعا أفأنت تكره
الناس حتى يكونوا مؤمنين
Toleransi Islam dibangun atas
alasan-alasan menghormati kebebasan berpendapat dan berkeyakinan dan komitmen
untuk hidup berdampingan secara damai.
Toleransi dalam tradisi Islam sejalan
dengan filsafat Stoicisme yang menekankan urgensi control emosi dalam menyikapi
perbedaan. Imam al-Ghozali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, mengulas pentingnya
control emosi dalam menghargai perbedaan. Menurutnya, selama manusia bisa
mencintai dan membenci, maka manusia tidak akan lepas dari emosi dan kemarahan.
Namun, manusia harus bisa mengendalikan emosinya, di mana hal ini dapat dilakukan
dengan 6 langkah: 1) Merenungi keutamaan memaafkan dan menahan amarah, 2) Takut
pada siksa Allah terhadap pemarah, 3) Menghindari ekses negative dari
permusuhan, 4) Membayangkan raut wajah yang amat jelek seperti binatang buas
saat marah-marah, 5) Berfikir ulang tentang penyebab kemarahan, 6) Menyadari
bahwa kemarahan keluar dari kesombongan karena pemarah merasa seakan-akan
prilakunya sesuai dengan maksud Allah.[16]
Sikap Muslim Toleran dalam Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
Toleransi seyogyanya dibangun di
atas budaya kritis di mana orang-orang bisa saling menegur dan menasehati
apabila ada anggota masyarakat yang merusak kode etik sosial.[17]
Toleransi etis tidak menafikan urgensi control sosial melalui amar ma’ruf
nahi munkar yang dianjurkan dalam al-Qur’an surat al-Ashr ayat 2-3.
Mekanismenya adalah menyeru dengan penuh hikmah dan kesopanan. Amar ma’ruf
bukan main hakim sendiri dengan kekerasan melainkan menyeru dengan kelembutan,
sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imron [3] ayat 159:
فبما رحمة من الله تعالى لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب
لانفضوا من حولك
Imam al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumiddin mengingatkan kita bahwa tindakan main hakim sendiri dengan kekerasan
sama sekali tidak dibenarkan meski dengan dalih amar ma’ruf
nahi munkar. Beliau menjelaskan tingkatan-tingkatan amar ma’ruf nahi munkar
sebagai berikut:[18]
1) Memberi tahu, 2) Menasehati, 3) Menegur
dengan kata-kata keras, 4) Mencegah secara paksa dengan sanksi hukuman.
Tingkatan pertama dan kedua boleh dilakukan oleh warga sipil maupun pemerintah.
Tingkatan ketiga dengan teguran keras –seperti kata wahai orang dhalim dan
wahai orang yang tak takut Tuhan- boleh dilakukan oleh warga sipil dan
pemerintah apabila tidak menyebabkan fitnah kepada orang lain. Adapun tingkatan
keempat hanya boleh dilakukan oleh pemerintah.
Adapun mengenai hadits man ro’a
minkum munkaron falyughoyyir biyadih, fa in lam yastathi’ fa bilisanih, fa in
lam yastathi’ fa biqolbih, wa dzalika min adl’afil iman, muslim yang
toleran memahami bahwa aksi secara fisik adalah otoritas pemerintahan/
penguasa, bukan otoritas individual. Sedangkan yang kedua, dengan lisan (dan
para ulama’ meyakini juga dengan tulisan), adalah wilayah yang bisa diperankan
oleh individu-individu yang alim/ berpengetahuan, mengerti masalah agama secara
mendalam. Tidak mampu memberi peringatan secara lisan maupun tulisan, hanya
menyesali di dalam hati, menunjukkan lemahnya iman. Karena orang yang demikian,
salah satunya bodoh karena tidak belajar untuk meningkatkan pengetahuannya,
atau malas dan tidak mau tahu dengan permasalahan masyarakatnya.[19]
Ini pulalah yang membedakan aksi muslim
toleran dengan muslim garis keras. Seorang muslim yang radikal mengatasnamakan
amar ma’ruf nahi munkar sebagai legitimasi untuk melakukan pemaksaan, kekerasan
dan penyerangan terhadap siapapun yang berbeda. Mereka juga menggunakan konsep
rohmah lil ‘alamin sebagai dalih formalisasi Islam, memaksa pihak lain
menyetujui tafsir mereka dan menuduh siapapun yang berbeda atau bahkan menolak
tafsir mereka sebagai menolak konsep rohmah lil ‘alamin sebelum akhirnya dicap
sebagai murtad dan kafir yang berhak diperangi.[20]
Maka, warga Negara non muslim akan merasa tidak nyaman hidup di tanah air
sendiri, begitu pula warga muslim yang pemahaman keagamaannya tidak selaras
dengan muslim yang berfaham radikal. Tindakan intoleran muslim radikal ini
nantinya akan berujung pada perpecahan warga, saling membunuh dan
meluluhlantakkan kesatuan Negara.
PENUTUP
Dari makalah ini, kita dapat menyimpulkan bahwa:
-
Muslim
toleran adalah pemeluk agama Islam yang memiliki kebenaran yang ia yakini dan
mampu mengendalikan diri dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang dihadapi
tanpa terjebak pada relativitas yang samar. Di samping, itu ia tetap
melaksanakan toleransi etis yang tidak
menafikan urgensi control sosial melalui amar ma’ruf nahi munkar, di
mana ia berusaha mewujudkannya dengan tindakan yang penuh hikmah dan kesopanan.
-
Demi
utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila dan mementingkan
kerukunan warga yang beragam, kita perlu membangun jiwa muslim toleran yang:
1.
Menjunjung
tinggi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negeri kesatuan
yang melindungi seluruh warga
2.
Memahami
hokum positif Negara sebagai hokum yang patut dilaksanakan, dan bahwa
operasional hokum positif yang tidak sesuai dengan aturan syari’at tidak perlu
dipermasalahkan selama dasar penetapan hukumnya sama.
3.
Menyikapi
perbedaan keyakinan antar sesame dengan arif dan tanpa paksaan
4.
Beramar
ma’ruf nahi munkar sesuai dengan proposional dan posisi masing-masing
5.
Berdakwah
dengan cara yang halus dan sopan.
[1] Alfiyah Ashmad dkk, Muslim
Marhamah, Citra Diri Muslim Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jombang: PCNU
Jombang, 2011), hal: 4
[2] M. Quraisy Shihab, Wawasan
al-Qur’an, Tafsir Maudlu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan,
1997), hal: 378
[3] Irwan Masduqi, Berislam
Secara Toleran, Teologi Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Mizan, 2011),
hal: 7
[8] Abdurrahman Wahid, Islamku,
Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The
Wahid Institute, 2006), hal: 3
[9] Ma’had Aly Situbondo, Fiqh
Realitas, Respon Ma’had Aly terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hal: 49
[10] Muhammad Fathi
al-Dairani, al-Manahij al-Ushuliyyah fi al-Ijtihad bi al-Ra’yi fi Tasyri’
al-Islami, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), hal: 32
[11] Fakhruddin Muhammad bin
‘Umar bin al-Husain bin al-Hasan al-Razi, at-Tafsir al-Kabir, vol. XII,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), hal: 6
[12] Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh
Sosial Kiai Sahal, Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya: Khalista,
2007), hal: 108-109
[15] Wahbah al-Zuhayli, al-Mausu’ah
al-Qur’aniyyah al-Muyassarah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1423), hal: 43
[16] Abu Hamid al-Ghozali, Ihya’
Ulum al-Din, vol III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002), hal: 227-233
[18] Abu Hamid al-Ghozali, Ihya’
Ulum al-Din, vol II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002), hal: 458
[19] Abdurrahman Wahid, Ilusi
Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hal: 65-66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar