Nggosip, membicarakan orang lain adalah satu hal yang ga pernah dilewatkan oleh banyak orang, khususnya perempuan. Kalau sudah ngumpul2, ngobrol ini itu, ujung2nya pokok pembahasan akan mengerucut pada keburukan orang lain. Apapun bentuknya, entah buruk dari sisi fisik atau dari sisi prilaku.
Ketika membicarakan kekurangan fisik seseorang, tak jarang panelis-panelis dalam sidang rasan-rasan itu menertawakan bahkan menghina obyek-obyek pembahasannya. Entah tubuhnya yang pendek, tubuhnya yang gemuk, giginya yang mrongos, hidungnya yang pesek, wajahnya yang pas-pasan, rambutnya yang nggimbal dan lain-lain. Prilaku seseorang, gaya bicara, cara berjalan, pakaian, rumah dan apapun mulai dari A sampai Z juga menjadi topic bahasan yang akan dinilai dan dikupas tuntas oleh majlis ini. Seakan majlis itu menjadi satu-satunya majlis yang paling berhak menilai seseorang.
Kebetulan hadir dalam majlis yang demikian memang repot. Umpama sebelumnya kita duduk tenang namun tiba2 pergi saat pembicaraan mulai ngelantur ya gak enak juga. Tapi kalau diterus-teruskan maka seakan kita turut menjadi anggota Komisi Pencela Orang Lain (aku pribadi menyingkatnya dengan sebutan KOMPOLAN). Meski hanya menjadi pendengar, bukan berarti membebaskan kita dari tanggungan dosa yang dimunculkan oleh majlis itu. Sebuah hadits menyatakan, pelaku ghibah dan pendengarnya adalah sama dosanya.
Coba kita berfikir: sebenarnya, apakah kita punya hak untuk mencela orang lain? Lebih2 jika yang dibahas adalah kekurangan fisik, yang membuat kita mencela dan menertawakannya. Saya teringat dengan cerita nabi Nuh yang pernah berkata, “anjing ini sangat buruk dan menjijikkan” ketika beliau melihat anjing yang memiliki 4 mata. Kemudian si anjing menjawab, “Wahai Abdul Ghoffar (nama asli nabi Nuh), engkau menghina ukiran atau Yang Mengukir? Jika hinaan itu kau utarakan pada ukiran maka jelas memang demikian adanya. Namun jika itu ditujukan padaku, maka aku enggan memilih menjadi anjing. Dan jika hinaan tadi tertuju pada Sang Pengukir, maka hinaan itu tidaklah layak, karena Ia berkehendak atas apa yang dikehendaki-Nya.” Karena hal itulah Abdul Ghoffar pun terus menangisi kesalahan dan dosanya. Karena seringnya menangis ia pun dinamakan dengan sebutan “Nuh” yang artinya menangis.
Ketika kita menghina sebuah lukisan, bukankah sama dengan menghina pelukisnya? Ketika kita menghina sebuah ukiran, bukankah sama dengan menghina pengukirnya? Ketika kita menghina sebuah patung, bukankah sama dengan menghina pemahatnya? Begitu pula ketika kita menghina, mencela dan menertawakan bentuk fisik seseorang, bukankah sama dengan kita menghina Dzat Yang Menciptakannya, menghina sifat irodah-Nya, menghina sifat qudroh-Nya? Allah mampu-mampu saja menjadikan semua manusia di bumi ini menjadi manusia2 yang tampan2, cantik2, tinggi2, langsing2, mancung2 dll,, namun ada beberapa yang tidak dianugerahi keelokan wajah/ tubuh oleh-Nya. Kenapa? Karena Allah memang tak menghendakinya. Apakah orang2 yang kau cela itu menginginkan lahir dalam keadaan fisik yang tidak sempurna? Mereka tak menginginkannya. Mereka lahir dengan bentuk fisik yang telah dijatahkan oleh-Nya. Maka jika kau mencela, bukankah itu sama dengan mencela kehendak (irodah)-Nya? Padahal jelas-jelas Allah memuji penciptaan manusia dalam al-Qur’an dengan لقد خلقنا الإنسان فى أحسن تقويم
Kalau demikian adanya, lalu apakah kita punya hak untuk mencela?
Coba kita berfikir yang kedua kali: Apa sebenarnya keuntungan kita mencela orang lain? Apakah dapat menambah kekayaan kita? Menambah ilmu kita? Membuat kita semakin dihormati? Justru mencela orang lain sama dengan memiskinkan diri. Mencela orang lain tak ubahnya dengan mendholimi orang lain. Dholim pada orang lain, bisa berupa dholim harta (karena hutang pada orang lain yg belum kita bayar) atau dholim kehormatan (karena mencela orang lain). Kelak di hari kiamat, orang2 yang didholimi itu akan menuntut kita. Dalam sebuah hadits yang panjang diriwayatkan oleh Nafi’ bin Umar dari sayyidah Aisyah ra, bahwa Nabi pernah menggambarkan bagaimana proses pengadilan seseorang di hari akhir. Allah memerintahkan malaikat yang memanggil nama seseorang, “mana fulan bin fulanah?” lalu seluruh manusia mengangkat pandangannya pada asal suara. Maka yang dipanggil pun keluar dari tempatnya dan ketika ia telah berdiri menghadap ke hadirat Allah Swt, maka dipanggillah orang2 yang pernah didholiminya, “Di manakah orang2 yang pernah didholimi oleh orang ini?” Pemanggil itu pun memanggil satu persatu orang yang pernah didholiminya. Pada hari itu tak ada harta, tak ada uang yang akan dibayarkan untuk menebus kedholimannya. Maka kebaikan2 orang yang diadili tadi diambil dan diberikan pada orang yang pernah didholiminya. Dan jika kebaikannya telah habis tak tersisa sama sekali, maka keburukan orang yang didholiminya ditanggungkan pada orang tadi. Kedholiman yang kita lakukan berupa hinaan pada orang lain ternyata hanya berujung pada pemiskinan diri di akhirat nanti.
Mari kita berfikir lagi, mencela orang lain menunjukkan bahwa kita terlalu sibuk memikirkan urusan orang, focus dengan kekurangan mereka. Namun kita lalai dari aib sendiri, apakah diri ini telah bersih dari cacat dhohir batin? Apakah diri ini bersih dari ma’siat dhohir batin? Maka jika kita memahami bahwa diri ini tak kuasa untuk benar-benar bersih dari kekurangan dan noda-noda ma’siat, pahamilah bahwa orang lain pun tak ada yang benar-benar bebas dari keburukan. Seperti kita merasa risih jika aib kita dibicarakan, maka orang lain pun merasa demikian. Jika kita mau menutupi aib saudara kita, Allah pun akan menutup aib kita. Namun jika lisan kita mengumbar keburukan orang lain, maka akan banyak pula lisan-lisan orang lain yang akan membicarakan keburukan kita. Bukan hanya Islam yang menilai buruk perbuatan mencela dan membicarakan kejelekan orang lain. Dalam buku ajaran agama budha pun disebutkan: bahwa jangan membicarakan sedikit pun kejelekan orang lain di belakangnya, sebab kamu akan dinilai jelek oleh si pendengar, dan jangan selalu melihat/ mengecam kesalahan orang lain, tetapi selalu melihat diri sendiri, itulah kebenaran.
Seorang ulama’ dalam syairnya berkata:
المرء إن كان عاقلا ورعا # أشغله عن عيوبهم ورعه
كما العليل السقيم أشغله # عن وجع الناس كلهم وجعه
“Seorang yang berakal dan wira’I tak akan disibukkan dengan aib orang lain. Sebagaimana orang yang sedang menderita sakit yang parah, ia tak akan mengurusi sakitnya orang lain karena telah sibuk dengan penyakitnya sendiri”
Lalu, apa yang harus kita lakukan agar tidak ikut KOMPOLAN? Ada sebuah hadits yang dapat kita amalkan agar tidak terjebak dalam majlis ghibah:
قال صلى الله عليه وسلم: إذا جلستم مجلسا فقولوا بسم الله الرحمن الرحيم وصلى الله على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه وسلم فإن من فعل ذلك وكل الله به ملكا يمنعهم من الغيبة حتى لايغتابوكم.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika engkau duduk dalam satu majlis, maka ucapkanlah bismillahirrohmanirrohim dan shollallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. Karena barang siapa yang melakukannya, maka Allah akan mengutus seorang malaikat yang akan menjaga kita dari orang-orang yang ghibah.”
Ini hanyalah uneg-uneg seorang perempuan biasa yang tak bisa apa2. Perempuan itu memang ga bisa berkata apapun dalam majlis ghibah. Hanya mampu ingkar bil qolb menunjukkan betapa lemahnya iman perempuan itu. Dg tulisan ini semoga bisa menjadi salah satu cara untuk tawashou bil haqq wa tawashou bis shobr (bis shobr ‘ala ma’siatil lisan)
Semoga Allah menjaga lisan kita dari mengucapkan segala sesuatu yang tak diridloi-Nya hingga merugikan kita di dunia dan akhirat nanti. Fallahu khoirun hafidhon wa huwa arhamur rohimin.
Semoga bermanfaat.
Malang, 30 Mei 2014. Pukul 13.14 WIB
Sumber bacaan:
Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqond, Tanbihul Ghofilin
Imam Jalaluddin bin Abdurrohman as-Suyuthi, Lubabul Hadits
Imam Jalaluddin bin Abdurrohman as-Suyuthi, Badai’uz Zuhur fi Waqoi’Id Duhur
Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarh Maroqil ‘Ubudiyyah’ala Matn Bidayatil Hidayah
___________, Ajaran Welas Asih Avalokitesvara Bodhisattva (Kwan Im Po Sat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar