27 April 2013, saat itu adalah malam terakhir aku di Madinah, karena keesokan harinya rombongan harus berangkat ke Makkah. Kepikiran besok sudah tak di Madinah, malam itu aku pun bertekad untuk lebih lama di Roudloh. Beda dg lelaki, jatah waktu perempuan di Roudloh memang sangat terbatas. Waktu roudloh untuk perempuan hanya ada 3 season. Pertama, ba’da shubuh (kurang lebih dibuka mulai jam 7) hingga sekitar jam 10. Kedua, ba’da dhuhur hingga menjelang masuk waktu ashar. Ketiga, ba’da Isya’ hingga tengah malam (entah tepatnya jam berapa, karena aku tak pernah di Roudloh malam hari hingga ia ditutup).
Seperti biasa, ba’da
Isya’ aku dan banyak perempuan lainnya tetap di masjid menunggu salah satu
pintu menuju roudloh dibuka. Gelombang bunyi dari ceramah2 ala wahabi yang
disampaikan oleh perempuan2 (semacam remaja masjid) sambil menunggu terbukanya
pintu itu hanya melewati gendang telingaku tanpa harus kumasukkan ke dalam
pikiran. Hanya sepasang mata yang awas, mengamati dan mengintai pintu sebelah
mana yang akan dibuka. Saat itu aku masuk pada gerombolan orang2 Turki yang
kebagian tempat di pintu tengah2. Kufikir pintu tengah adalah pintu yang aman
dan efisien untuk menuju roudloh dg cepat. Karena kalau aku duduk di pintu selatan
sedangkan yg dibuka adalah pintu utara, maka alamat aku ga bisa dg cepat masuk
roudloh karena jauhnya jarak. Waktu itu,
aku sendirian. Ibu yang biasanya menemaniku ke Roudloh ba’da Isya’ pulang
duluan karena tak enak badan.
Pintu pun terbuka.
Alhamdulillah, meski bukan pintu tengah yang tepat di depanku, tapi pintu itu
dekat dg kumpulan orang2 Turki yang kuikuti. Kami pun bergegas, tak sabar sowan
kanjeng Nabi. Berdesakan, lari2, nafas yang tersengal2, bahkan terjatuh sama
sekali tak menyurutkan semangat kami para perempuan untuk menyicipi roudlotun
min riyadlil jinan barang sebentar, memberi salam pada Sang Kekasih, Nabiyullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di dalam roudloh,
sesaknya masya Allah. Ruangan sekecil itu direbutkan oleh ratusan bahkan ribuan
perempuan2 di penjuru dunia. Umumnya, ketika ada salah satu yg selesai sholat
maka langsung diusir oleh perempuan lain yang telah antri menunggu di
belakangnya, disuruh keluar agar bisa bergantian dengan lainnya. Dasar A’ung,
memang sedikit bandel dan licik. Sehabis sholat dan berdo’a di dekat makam
nabi, diusir, maka aku pun bergeser ke bagian Roudloh yang lain. Diusir lagi,
maka pindah lagi. Diusir lagi, maka pindah lagi. Toh, yang ngusir pun lupa dg
wajahku karena banyaknya perempuan yg berdesakan. Bukan karena ga mau berbagi
dan seenaknya sendiri. Fikir saya, mumpung saya di sini. Saya ga tahu kapan
bisa sowan lagi pada kanjeng Nabi. Jika kelakuan saya ini dicibir oleh orang
lain, maka saya teringat dg salah satu sahabat Nabi yang menuntut meng-qishosh
beliau di masjid pada hari-hari terakhir beliau. Para sahabat saat itu heran
dan pastinya jengkel dg perbuatan salah satu sahabat itu. Namun ternyata,
tuntutan qishosh itu hanyalah sebagai alasan agar ia dapat memeluk kanjeng
Nabi. Maka saya pun melakukan hal sedikit “nakal” seperti demikian. Sungguh hal
inilah yang saya idamkan. Sowan pada manusia agung yang pernah secara langsung
sowan pada Sang Pencipta alam.
Saat itu aku memang
sangat lama di dalam roudloh, sampai aku ga sadar waktu. Tiap ke masjid aku
selalu membawa tas kecil yg berisi qur’an, hp dan beberapa buku lainnya, namun
sama sekali hp tak kubuka. Aku benar2 lupa waktu, hingga setengah 12 malam baru
keluar roudloh. Tak langsung pulang, aku malah duduk di area masjid dekat
roudloh. Kuamati, masih banyak perempuan2 yang tak kebagian masuk roudloh. Dan
perempuan2 yg tak kejatahan itu lagi2 dikumpulkan dan mendapat pengajian dari
perempuan2 wahabi itu. Aku baru tahu bahwa ternyata ada ceramah lagi season
kedua di area itu.
Sambil duduk, kubuka
tas. Kaget. Ada puluhan panggilan tak terjawab dan belasan sms dari nomor hp
abah ibu. Beliau seperti marah2. Pasti beliau sangat mengkhawatirkanku.
Beranjak berdiri dan berjalan sebentar, aku bertemu dengan ibuku di area dekat
roudloh. Kulihat beliau seperti bingung dan menoleh ke sana-sini mencariku.
Setelah melihatku, beliau hanya bilang, “cek suwene,,, dienteni abah ibu. Abah
duko2, ibu gak iso turu, kepikiran sampeyan. Wong gowo hp kok gak dibuka. Wis
ayo ndang balik” Lah,, bu’…. Mana sempat buka hape…
Ibu berjalan sambil menahan
kantuk. Keluar dari masjid nabawi kulihat abah yang juga tolah-toleh mencariku.
Kami bertemu, berjalan bersama menuju hotel. Sambil berjalan abah marah2.
“Kenapa lama sekali? Buat apa bawa HP kalo ga dibuka? Ditelpon disms ga ada
jawaban. Abah ibu itu khawatir. Sampe hampir tengah malam ga pulang2. Kami takut
ada apa2 sama kamu. Ini bukan Indonesia A. Ini Saudi. Negara orang. Bukan
tempat kita. Orang Arab ga sama dengan orang Indonesia. Kalau kamu sedang dalam
bahaya dan sendirian, mau minta tolong sama siapa?” Aku terdiam saja dan hanya
berkata dalam hati, “Aku di Roudloh bah. Aku sowan kanjeng nabi. Aku ga sedang
keluar, ga sedang belanja, ga sedang makan, ga sedang jalan2. Kenapa abah
begitu mengkhawatirkanku padahal aku sedang berada di dekat nabi?”
Sampai hotel, naik
lift, menuju kamar yang lumayan jauh dari tempat lift, kami melewati lorong
yang juga berderet2 kamar lain. Abah meneruskan marahnya, “Lihat lorong ini.
jarak antara lift dan kamar kita itu jauh. Melewati kamar2 orang lain. Kalau
kan berjalan sendiri, dan tiba2 penghuni kamar yang tak kau kenal ini tiba2
menarikmu ke dalam kamar. Lalu kau diapa2kan gimana? Kau bisa apa? Lalu
bagaimana kami harus mencarimu?” Saya menunduk, melirik ibu dan abah yang matanya
sudah berkaca-kaca.
Sampai kamar, abah
meneruskan: “Meski abah tahu sampeyan di Roudloh, tetep abah gak tenang. Kau
belum pernah merasakan bagaimana jadi orang tua. Kau belum pernah tahu
bagaimana kekhawatiran seorang ayah ibu ketika putrinya tidak di dekatnya. Kau
belum mengerti rasanya, A…”
Air mata berlinangan
di pipiku. Aku g ngerti bagaimana khawatirnya abah ibu tadi. Kuberanikan
berkata, “Ngapuntene kulo nggeh bah,, bu’…” beliau menjawab, “ojo dibaleni neh.
Ayo ndang turu. Mene budal neh..” (Aku jadi teringat, dulu waktu aku masih MI,
pernah abah tiba2 menangis keras setelah bangun tidur. Sebabnya? Beliau mimpi
aku diculik lalu dibunuh. Begitu itu nangise gaaaaa selesai2.. Lamaaa banget…
Ternyata mimpi saja membuat beliau begitu ketakutan dan sedih)
Malam itu yang sangat
kugarisbawahi dari kata2 beliau, “Kau belum pernah merasakan bagaimana jadi
orang tua. Kau belum pernah tahu bagaimana kekhawatiran seorang ayah ibu ketika
putrinya tidak di dekatnya. Kau belum mengerti rasanya, A…” begitu besarnya kah
kehawatiran abah ibu tadi? Begitu kalutnya kah fikiran beliau tadi?
Saya pun berfikir, apakah
kekhawatiran beliau tentang aku saat di dunia sama dg kekhawatiran beliau di
akhirat kelak? Lantas bagaimana dengan kekhawatiran kanjeng nabi tentang
umatnya? Hingga menjelang wafat, bukannya memikirkan sakitnya pati beliau malah
memikirkan umat. “ummati…ummati..” kata yang beliau ucapkan di tengah ajal
menjemput. Pula, ketika menjadi orang pertama yang dibangunkan dari kubur, nabi
bukannya sibuk memikirkan diri sendiri, tapi justru bertanya “wahai Jibril, apa
yang akan Allah lakukan terhadap umatku?”. Beliau juga tak bersedia duduk di
singgasana kerasulan di hari kebangkitan sebelum benar-benar bertemu dan
mensyafa’ati umatnya. Lalu bagaimana dengan kita? Ayah ibu kita? Suami?
Anak-anak? Apakah mereka masih mengkhawatirkan orang2 dekatnya di hari akhir
nanti? Apakah ayah ibuku mengkhawatirkanku? Apakah aku masih mengkhawatirkan
anak-anakku? يوم يفر المرء من أخيه. وأمه وأبيه. وصاحبته وبنيه. لكل
امرئ منهم يومئذ شأن يغنيه.
Saya membanyangkan
besok itu kita sudah sibuk dengan diri sendiri, bingung karena sedikit amal
baik, susah banyak dosa, ribut cari syafa’at. Lagi-lagi aku teringat saat di
roudloh. Rebutan masuk roudloh dengan ratusan perempuan saja sudah begitu
susahnya, bagaimana nanti jika kita rebutan minta syafa’at pada kanjeng nabi?
Kita berdesakan dengan seluruh laki-laki dan perempuan umat nabi mulai zaman
dulu hingga hari kiamat. Saya membayangkan bagaimana desaknya, lari-larinya,
air mata yang keluar untuk menuju nabi tercinta.
Mungkin, itulah kenapa
para sahabat suka berkata بأبي وأمي أنت يا رسول الله “Wahai Rosul, ayah ibuku
lah sebagai tebusanmu.” Dulu saya selalu berfikir tiap kali membaca perkataan
para sahabat. Kok tega2nya ayah dan ibunya dijadikan sebagai penebus nabi. Lama
kelamaan, membaca sirah nabawiyah membuat saya tersadar, bahwa memang kanjeng
nabi lah makhluq yang paling utama dan berhak untuk dicintai. Melebihi cinta
kita pada orang tua.
Dari kejadian itu, dalam
kemarahan ayah aku melihat ada kasih sayang yang besar di sana. Meski kata2
beliau menunjukkan amarah yang dahsyat padaku waktu itu, aku tahu bibir itu lah
yang tak hentinya menyebut namaku dalam tiap do’a. Meski sepasang mata itu
merah karena marah, tapi aku tahu ada banyak tetesan air mata untukku dalam
tiap malamnya.
Di saat beliau sakit
seperti ini, aku justru ingin dimarahi. Kangen mendengar beliau berkata,
memberi nasihat, bercanda bersama.
I love you so much,
Dad. Semoga ayah cepat sembuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar