Senin, 31 Maret 2014

Kemarahan Ayah VS Kesejukan Roudloh



27 April 2013, saat itu adalah malam terakhir aku di Madinah, karena keesokan harinya rombongan harus berangkat ke Makkah. Kepikiran besok sudah tak di Madinah, malam itu aku pun bertekad untuk lebih lama di Roudloh. Beda dg lelaki, jatah waktu perempuan di Roudloh memang sangat terbatas. Waktu roudloh untuk perempuan hanya ada 3 season. Pertama, ba’da shubuh (kurang lebih dibuka mulai jam 7) hingga sekitar jam 10. Kedua, ba’da dhuhur hingga menjelang masuk waktu ashar. Ketiga, ba’da Isya’ hingga tengah malam (entah tepatnya jam berapa, karena aku tak pernah di Roudloh malam hari hingga ia ditutup).

Seperti biasa, ba’da Isya’ aku dan banyak perempuan lainnya tetap di masjid menunggu salah satu pintu menuju roudloh dibuka. Gelombang bunyi dari ceramah2 ala wahabi yang disampaikan oleh perempuan2 (semacam remaja masjid) sambil menunggu terbukanya pintu itu hanya melewati gendang telingaku tanpa harus kumasukkan ke dalam pikiran. Hanya sepasang mata yang awas, mengamati dan mengintai pintu sebelah mana yang akan dibuka. Saat itu aku masuk pada gerombolan orang2 Turki yang kebagian tempat di pintu tengah2. Kufikir pintu tengah adalah pintu yang aman dan efisien untuk menuju roudloh dg cepat. Karena kalau aku duduk di pintu selatan sedangkan yg dibuka adalah pintu utara, maka alamat aku ga bisa dg cepat masuk roudloh karena jauhnya jarak.  Waktu itu, aku sendirian. Ibu yang biasanya menemaniku ke Roudloh ba’da Isya’ pulang duluan karena tak enak badan.

Pintu pun terbuka. Alhamdulillah, meski bukan pintu tengah yang tepat di depanku, tapi pintu itu dekat dg kumpulan orang2 Turki yang kuikuti. Kami pun bergegas, tak sabar sowan kanjeng Nabi. Berdesakan, lari2, nafas yang tersengal2, bahkan terjatuh sama sekali tak menyurutkan semangat kami para perempuan untuk menyicipi roudlotun min riyadlil jinan barang sebentar, memberi salam pada Sang Kekasih, Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di dalam roudloh, sesaknya masya Allah. Ruangan sekecil itu direbutkan oleh ratusan bahkan ribuan perempuan2 di penjuru dunia. Umumnya, ketika ada salah satu yg selesai sholat maka langsung diusir oleh perempuan lain yang telah antri menunggu di belakangnya, disuruh keluar agar bisa bergantian dengan lainnya. Dasar A’ung, memang sedikit bandel dan licik. Sehabis sholat dan berdo’a di dekat makam nabi, diusir, maka aku pun bergeser ke bagian Roudloh yang lain. Diusir lagi, maka pindah lagi. Diusir lagi, maka pindah lagi. Toh, yang ngusir pun lupa dg wajahku karena banyaknya perempuan yg berdesakan. Bukan karena ga mau berbagi dan seenaknya sendiri. Fikir saya, mumpung saya di sini. Saya ga tahu kapan bisa sowan lagi pada kanjeng Nabi. Jika kelakuan saya ini dicibir oleh orang lain, maka saya teringat dg salah satu sahabat Nabi yang menuntut meng-qishosh beliau di masjid pada hari-hari terakhir beliau. Para sahabat saat itu heran dan pastinya jengkel dg perbuatan salah satu sahabat itu. Namun ternyata, tuntutan qishosh itu hanyalah sebagai alasan agar ia dapat memeluk kanjeng Nabi. Maka saya pun melakukan hal sedikit “nakal” seperti demikian. Sungguh hal inilah yang saya idamkan. Sowan pada manusia agung yang pernah secara langsung sowan pada Sang Pencipta alam.

Saat itu aku memang sangat lama di dalam roudloh, sampai aku ga sadar waktu. Tiap ke masjid aku selalu membawa tas kecil yg berisi qur’an, hp dan beberapa buku lainnya, namun sama sekali hp tak kubuka. Aku benar2 lupa waktu, hingga setengah 12 malam baru keluar roudloh. Tak langsung pulang, aku malah duduk di area masjid dekat roudloh. Kuamati, masih banyak perempuan2 yang tak kebagian masuk roudloh. Dan perempuan2 yg tak kejatahan itu lagi2 dikumpulkan dan mendapat pengajian dari perempuan2 wahabi itu. Aku baru tahu bahwa ternyata ada ceramah lagi season kedua di area itu.

Sambil duduk, kubuka tas. Kaget. Ada puluhan panggilan tak terjawab dan belasan sms dari nomor hp abah ibu. Beliau seperti marah2. Pasti beliau sangat mengkhawatirkanku. Beranjak berdiri dan berjalan sebentar, aku bertemu dengan ibuku di area dekat roudloh. Kulihat beliau seperti bingung dan menoleh ke sana-sini mencariku. Setelah melihatku, beliau hanya bilang, “cek suwene,,, dienteni abah ibu. Abah duko2, ibu gak iso turu, kepikiran sampeyan. Wong gowo hp kok gak dibuka. Wis ayo ndang balik” Lah,, bu’…. Mana sempat buka hape…

Ibu berjalan sambil menahan kantuk. Keluar dari masjid nabawi kulihat abah yang juga tolah-toleh mencariku. Kami bertemu, berjalan bersama menuju hotel. Sambil berjalan abah marah2. “Kenapa lama sekali? Buat apa bawa HP kalo ga dibuka? Ditelpon disms ga ada jawaban. Abah ibu itu khawatir. Sampe hampir tengah malam ga pulang2. Kami takut ada apa2 sama kamu. Ini bukan Indonesia A. Ini Saudi. Negara orang. Bukan tempat kita. Orang Arab ga sama dengan orang Indonesia. Kalau kamu sedang dalam bahaya dan sendirian, mau minta tolong sama siapa?” Aku terdiam saja dan hanya berkata dalam hati, “Aku di Roudloh bah. Aku sowan kanjeng nabi. Aku ga sedang keluar, ga sedang belanja, ga sedang makan, ga sedang jalan2. Kenapa abah begitu mengkhawatirkanku padahal aku sedang berada di dekat nabi?”

Sampai hotel, naik lift, menuju kamar yang lumayan jauh dari tempat lift, kami melewati lorong yang juga berderet2 kamar lain. Abah meneruskan marahnya, “Lihat lorong ini. jarak antara lift dan kamar kita itu jauh. Melewati kamar2 orang lain. Kalau kan berjalan sendiri, dan tiba2 penghuni kamar yang tak kau kenal ini tiba2 menarikmu ke dalam kamar. Lalu kau diapa2kan gimana? Kau bisa apa? Lalu bagaimana kami harus mencarimu?” Saya menunduk, melirik ibu dan abah yang matanya sudah berkaca-kaca.

Sampai kamar, abah meneruskan: “Meski abah tahu sampeyan di Roudloh, tetep abah gak tenang. Kau belum pernah merasakan bagaimana jadi orang tua. Kau belum pernah tahu bagaimana kekhawatiran seorang ayah ibu ketika putrinya tidak di dekatnya. Kau belum mengerti rasanya, A…”
Air mata berlinangan di pipiku. Aku g ngerti bagaimana khawatirnya abah ibu tadi. Kuberanikan berkata, “Ngapuntene kulo nggeh bah,, bu’…” beliau menjawab, “ojo dibaleni neh. Ayo ndang turu. Mene budal neh..” (Aku jadi teringat, dulu waktu aku masih MI, pernah abah tiba2 menangis keras setelah bangun tidur. Sebabnya? Beliau mimpi aku diculik lalu dibunuh. Begitu itu nangise gaaaaa selesai2.. Lamaaa banget… Ternyata mimpi saja membuat beliau begitu ketakutan dan sedih)

Malam itu yang sangat kugarisbawahi dari kata2 beliau, “Kau belum pernah merasakan bagaimana jadi orang tua. Kau belum pernah tahu bagaimana kekhawatiran seorang ayah ibu ketika putrinya tidak di dekatnya. Kau belum mengerti rasanya, A…” begitu besarnya kah kehawatiran abah ibu tadi? Begitu kalutnya kah fikiran beliau tadi?

Saya pun berfikir, apakah kekhawatiran beliau tentang aku saat di dunia sama dg kekhawatiran beliau di akhirat kelak? Lantas bagaimana dengan kekhawatiran kanjeng nabi tentang umatnya? Hingga menjelang wafat, bukannya memikirkan sakitnya pati beliau malah memikirkan umat. “ummati…ummati..” kata yang beliau ucapkan di tengah ajal menjemput. Pula, ketika menjadi orang pertama yang dibangunkan dari kubur, nabi bukannya sibuk memikirkan diri sendiri, tapi justru bertanya “wahai Jibril, apa yang akan Allah lakukan terhadap umatku?”. Beliau juga tak bersedia duduk di singgasana kerasulan di hari kebangkitan sebelum benar-benar bertemu dan mensyafa’ati umatnya. Lalu bagaimana dengan kita? Ayah ibu kita? Suami? Anak-anak? Apakah mereka masih mengkhawatirkan orang2 dekatnya di hari akhir nanti? Apakah ayah ibuku mengkhawatirkanku? Apakah aku masih mengkhawatirkan anak-anakku? يوم يفر المرء من أخيه. وأمه وأبيه. وصاحبته وبنيه. لكل امرئ منهم يومئذ شأن يغنيه.

Saya membanyangkan besok itu kita sudah sibuk dengan diri sendiri, bingung karena sedikit amal baik, susah banyak dosa, ribut cari syafa’at. Lagi-lagi aku teringat saat di roudloh. Rebutan masuk roudloh dengan ratusan perempuan saja sudah begitu susahnya, bagaimana nanti jika kita rebutan minta syafa’at pada kanjeng nabi? Kita berdesakan dengan seluruh laki-laki dan perempuan umat nabi mulai zaman dulu hingga hari kiamat. Saya membayangkan bagaimana desaknya, lari-larinya, air mata yang keluar untuk menuju nabi tercinta.

Mungkin, itulah kenapa para sahabat suka berkata بأبي وأمي أنت يا رسول الله “Wahai Rosul, ayah ibuku lah sebagai tebusanmu.” Dulu saya selalu berfikir tiap kali membaca perkataan para sahabat. Kok tega2nya ayah dan ibunya dijadikan sebagai penebus nabi. Lama kelamaan, membaca sirah nabawiyah membuat saya tersadar, bahwa memang kanjeng nabi lah makhluq yang paling utama dan berhak untuk dicintai. Melebihi cinta kita pada orang tua.

Dari kejadian itu, dalam kemarahan ayah aku melihat ada kasih sayang yang besar di sana. Meski kata2 beliau menunjukkan amarah yang dahsyat padaku waktu itu, aku tahu bibir itu lah yang tak hentinya menyebut namaku dalam tiap do’a. Meski sepasang mata itu merah karena marah, tapi aku tahu ada banyak tetesan air mata untukku dalam tiap malamnya.

Di saat beliau sakit seperti ini, aku justru ingin dimarahi. Kangen mendengar beliau berkata, memberi nasihat, bercanda bersama.

I love you so much, Dad. Semoga ayah cepat sembuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar