Rabu, 30 Oktober 2013

Muhasabah diri, terinspirasi dari Prof. Nadirsyah Hosen

Hari Jum’at, 25 Oktober 2013 lalu, saya membaca sebuah status yang diposting oleh Prof. Nadirsyah Hosen, seorang putera bangsa Indonesia yang saat ini tinggal di Australia.  Setidaknya dari status beliau ada sebuah pesan yang saya garis bawahi, bahwa “kita sebaiknya jangan hanya menghabiskan waktu di media sosial seperti facebook dan twitter. Teruslah berkarya dan produktif. Media sosial kan hanya sebagai pelengkap dan hiburan saja.” Di kalimat2 selanjutnya beliau menceritakan bahwa sebagai dosen beliau memiliki tugas utama yaitu mengajar, riset dan membimbing mahasiswa. Dalam setahun belakangan ini (2012-203), di samping tugas beliau meng-organise symposium, menguji desertasi, mengisi perkuliahan, menghadiri sejumlah seminar di beberapa Negara, membimbing 4 mahasiswa PhD yang kemudian berhasil menyelesaikan sekolahnya, menghasilkan 3 buah buku dan 7 artikel (padahal pihak kampus hanya meminta beliau untuk mempublish 1 artikel di jurnal internasional), juga mengabdi pada ilmu dan umat sebagai Rais Syuriyah PCI Nu di Australia dan New Zealand serta President of The Council.

Membaca postingan beliau membuat saya merinding dan berkaca pada diri sendiri. Dalam satu tahun ini kukoreksi apa yang telah kulakukan, apa karya yang kuhasilkan, apa manfaat yang bisa kutebarkan untuk sesama. Rasanya tak ada seujung kuku bandingannya dengan apa yang telah dilakukan Prof. Nadirsyah Hosen. Status yang beliau tulis 3 hari lalu itu benar-benar menohokku, membuat saya bangkit dan berusaha memperbaiki diri. Kalau beliau bisa melakukannya, kenapa saya tidak. Beliau makhluq Allah, saya pun makhluq Allah. Beliau orang Indonesia, saya pula orang Indonesia. Beliau makan nasi, saya pula makan nasi. Maka apa yang membuat beliau begitu melejit berada di atas sana sebagai orang yang anfa’ lin naas, sementara saya masih hanya berkutik dengan kebutuhan diri sendiri. Sekedar mandi, tidur, makan, minum, sholat, fesbukan. Lalu apa yang telah kulakukan untuk banyak orang? Lalu mana sisi manfaat yang bisa kupersembahkan? Ternyata saya tidak lebih baik dari pohon yang masih bisa memberikan oksigen untuk manusia dan binatang, ternyata saya tak lebih baik dari batu kerikil yang masih bisa digunakan untuk bahan bangunan, ternyata saya tak lebih baik dari debu yang masih bisa dimanfaatkan untuk tayammum.  Bentukku manusia, tapi esensiku tak ubahnya seperti zombie. Mayat hidup yang tak bisa memberikan pengaruh apa-apa pada lingkungannya.

Saya mengoreksi dan terus mengoreksi. Kupikir-pikir lebih dalam lagi. Bagaimana saya bisa produktif, bagaimana saya bisa membuahkan manfaat pada orang lain, sementara diri ini tak memiliki potensi. Memangnya apa yang telah kumiliki hingga bisa kubagikan pada banyak orang? Sungguh diri ini adalah diri yang lemah. Kekayaan, saya tak punya. Keilmuan, saya tak mumpuni. Kekuatan, saya terbatas.  Kalau harta, ilmu dan kekuatan saja saya tak punya maka apa yang bisa saya berikan?

Sudah tahu potensi terbatas, ternyata usaha untuk mengembangkan potensi pun biasa-biasa saja. Waktu yang dikaruniakan Allah padaku ternyata lebih banyak kubuang untuk hal-hal yang sifatnya sia-sia. (Ya Tuhan,, sekali lagi hamba memohon ampun-Mu, ternyata keislaman hamba masih perlu dipertanyakan, tiba-tiba teringat dengan dawuh kanjeng nabi من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه). Tidur berlama-lama, ngobrol tak ada gunanya, main game, lihat tv, fesbukan, mengaji pada kyai tanpa muthola’ah kembali, mengerjakan tugas kuliah asal-asalan, tak ada usaha menambah ilmu tiap harinya. Kalau sudah begini, bagaimana saya bisa memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan. Sudah tahu processor otaknya hanya intel Pentium 2, kok malas berusaha. Profesor yang processor otaknya sudah Core i7 saja masih terus belajar dan belajar untuk melejitkan potensi, saya yang processor otaknya hanya intel Pentium 2 masih bermalas-malasan di atas kasur sambil lihat tv. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un…. Keinginan dan cita-cita begitu tinggi, namun usaha untuk merealisasikan cita-cita itu kosong. Saya jadi teringat dengan sebuah nadhom di kitab alaalaa yang saya pelajari saat masih MI:


تمنيت أن تمشى فقيها مناظرا # بغير عناء والجنون فنون
Maunya pintar, tapi malas belajar. Maunya kaya, tapi malas bekerja. Bukankah itu suatu kegilaan dan kebohongan yang nyata? Ternyata saya tak ubahnya seperti politikus2 yang suka umbar janji tapi tak ada bukti. Bahkan diri ini lebih buruk, karena dholim pada diri sendiri. Jika janji pada diri sendiri untuk menjadi orang yang lebih baik saja tidak bisa saya tepati, maka bagaimana saya bisa menepati janji saya pada orang lain.

Beliau adalah makhluq ciptaan Allah, saya pula makhluq ciptaan Allah. Bedanya, beliau dikaruniai oleh Allah kecerdasan dan potensi yang lebih tinggi dari saya. Maka dengan demikian, perjuangan saya untuk menjadi seperti beliau harusnya lebih keras dan berat, bukannya asal-asalan seperti ini. Beliau menjadi professor adalah termasuk hal yang mumkinat, begitu pula saya menjadi professor adalah sebuah hal yang mumkinat. Karena qudroh Allah berta’alluq dengan segala hal yang mumkinat, maka saya yakin dengan mengerahkan segala usaha lahir batin dan husnudhon pada Allah, Insyallah hal-hal mumkinat itu bisa terjadi. Baru tersadar, ketika saya pesimis hingga akhirnya hanya berpangku tangan bukankah itu sama saja dengan saya su’udhon pada Allah, bukankah itu berarti saya meragukan kekuasaan Allah yang agung. Sesungguhnya tak ada kekuasaan dan kekuatan kecuali hanya milik Allah semata. Namun Allah tak akan merubah keadaan seseorang sebelum orang itu mau merubah dirinya sendiri.

Untuk Prof. Nadirsyah Hosen, saya ucapkan banyak-banyak terima kasih karena telah menggugah saya, membangunkan saya dari impian yang semu, menyalakan kembali obor semangat saya untuk berilmu dan beramal. Jazaakumullah ahsanal jazaa’…


Semoga bermanfaat


PP Miftahul Huda, Gading Malang, 28 Oktober 2013







2 komentar: