Senin, 31 Agustus 2015

MENUMBUHKAN SEMANGAT MENULIS



Sampai saat ini saya bukanlah belum menjadi seorang penulis yang handal. Ide-ide dalam tulisan saya bukan sesuatu yang brilliant, diksi di dalamnya pun tidak begitu menarik untuk dibaca, alurnya juga sering berantakan. Tulisan saya biasa - biasa saja. Biasaaa banget. Sebenarnya saya ga pede mem-posting tulisan di mading, facebook atau blog. Namun, ada beberapa alasan yang membuat saya terdorong untuk menulis dan menyulut kepercayaan diri saya untuk mempostingnya

Masih terngiang di telinga saya, bagaimana guru saya di Tambakberas, KH. Abdul Kholiq Hasan dan bunyai Hj. Bashirotul Hidayah memberi semangat yang luar biasa untuk menulis. Beliau setengah mewajibkan saya untuk menulis, bahkan menerbitkan buku. Karena karya tulis kita nanti akan menjadi jariyah pahala yang terus mengalir ketika ia dibaca dan dimanfaatkan oleh generasi setelah kita. Imam Ghozali, Abu Syuja’, Imam Nawawi dan banyak ulama’ lainnya yang telah wafat ratusan tahun lalu masih dikenal hingga sekarang karena karya mereka yang sering dipelajari di madrasah dan pondok pesantren. Imajinasi saya, mungkin malaikat Roqib masih terus berdinas karena sibuk menulis pahala beliau semua, dan entah bagaimana cara malaikat menghitung seberapa banyak pahalanya karena memberi kemanfaatan yang luar biasa dan kontinyu pada umat manusia. Coba kalau beliau semua tidak mengabadikan ilmu pengetahuan dalam sebuah kitab, maka bagaimana kita bisa mewarisi ilmu Nabi Muhammad SAW yang telah wafat. Kyai dan bunyai juga sering mencontohkan KH. Jamaluddin Ahmad, ayah beliau, guru saya yang dalam usia senjanya masih terus produktif menulis. “Masa’ yang muda kalah semangat sama Abah Jamal yang sudah sepuh, A’?” Begitu beliau menegaskan.

 Jalan Menuju Allah, karya KH. Muhammad Jamaluddin Ahmad

Keluar dari Tambakberas, di tahun 2012 dan 2014, saya diikutkan lomba di MTQ Kab. Gresik cabang Menulis Makalah Ilmiah al-Qur’an. Dari pihak panitia sudah menyiapkan beberapa tema yang harus dipilih untuk dijadikan tulisan. Bingung apa yang akan saya tulis, bingung literatur apa yang akan saya baca untuk menjadi rujukan tulisan saya, maka saya pun mencoba menghubungi beberapa pakar, guru-guru saya dan beberapa penulis via facebook. Salah satunya adalah Bapak Rijal Mumazziq Zionis, penulis buku Cermin Bening dari Pesantren yang kebetulan dulu pernah mengisi seminar jurnalistik di kampus saya. Banyak saran yang saya terima dari beliau dan beliau berpesan untuk terus istiqomah menulis tanpa memikirkan baik atau buruk tulisannya, karena dengan latihan yang kontinyu, tulisan itu perlahan akan berkembang semakin baik.


Cermin Bening dari Pesantren, karya Rijal Mumazziq Zionis



Lagi, seseorang yang sangat kukagumi karena keistiqomahan menulisnya adalah Bapak Prof. Imam Suprayogo, mantan rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Sering saya iseng-iseng buka website beliau dan membaca artikelnya. Pada 8 Desember 2013, pak Imam merasa senang sekali karena di hari itu tulisan di website beliau telah genap mencapai angka 2000 jumlahnya. Dan terakhir saya membuka website beliau pada 30 Agustus 2015, jumlah tulisan beliau di website sudah mencapai 2639. Padahal kalau saya kalkulasi (maklum cewek, emang bakat pegang kalkulator), jika tiap hari Pak Imam menulis 1 judul dari tanggal 8 Desember 2013 sampai dengan 30 Agustus 2015 harusnya jumlah tulisan ada 2630, tapi nyatanya lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa tiap hari beliau bisa membuat beberapa tulisan. Ah, mungkin laptop bagi pak Imam adalah bagaikan butir tasbih bagi para sufi, atau bagai HP bagi sepasang kekasih yang sedang menjalankan Long Distance Relationship. Semangat beliau untuk menulis dan berbagi manfaat pada sesama sungguh mengagumkan. Saya ga habis pikir, dari mana ide-ide tulisan yang beliau dapatkan. Beliau telah menulis ribuan judul, tapi kok ada saja gagasan-gagasan baru yang brilliant untuk disampaikan di tulisan selanjutnya. Mengamati keistiqomahan pak Imam ini membuat saya baru bisa menyadari dan mendapat bukti konkrit bahwa, ketika ilmu pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki itu dirupakan dalam bentuk tulisan untuk diambil manfaatnya oleh banyak orang, maka ilmu kita tak akan pernah habis dan berkurang, tapi justru semakin bertambah dan bertambah. 


 Jumlah artikel Prof. Imam Suprayogo di website beliau tanggal 30 Agustus 2015

Saya dan mungkin ribuan teman-teman yang lain pasti pernah mengalami perasaan minder dan kesulitan merangkai kata saat menulis, hingga akhirnya perasaan-perasaan itu membawa kita pada rasa enggan menulis. Maka, di sini akan saya tampilkan beberapa kiat yang disarankan oleh bapak Imam Suprayogo agar kita mau terus menulis. Beberapa alinea di bawah ini adalah cuplikan tulisan Pak Imam yang saya ambil dari website beliau yang berjudul “Beristiqomah Dalam Menulis” yang diposting pada 8 Desember 2013. Sengaja saya tampilkan tulisan beliau tanpa mengubah kata agar lebih mantap:

Bahwa manakala keinginan menulis sudah tumbuh dan gagasan  atau ide yang ditulis sudah muncul, maka segera sajalah memulai untuk menulis. Saya selalu memberi saran, tatkala sedang memulai menulis maka tidak  perlu berpikir bahwa tulisannya tidak bermutu atau tidak berkualitas. Yakinkan diri sendiri,  bahwa ide yang sedang ditulis itu adalah penting bagi banyak orang. Selain itu, buanglah  jauh-jauh rasa takut dan khawatir, bahwa  kalimat yang digunakan  keliru, isinya tidak bermutu, akan dikritik orang, dan sejenisnya. Manakala rasa takut dan kekhawatiran itu muncul, maka kegiatan menulisnya  juga akan berhenti. Ketakutan dan kekhawatiran itu akan menjadikan gagasan atau idenya hilang.  Selain itu, kalau pun selesai, hasil tulisannya juga menjadi kurang baik.

Tatkala sedang memulai menulis, maka perasaan yang seharusnya ditumbuh-kembangkan adalah, bahwa seolah-olah ada orang yang berada di depannya yang sedang menunggu untuk diberikan penjelasan lewat tulisan yang sedang dibuat itu. Hendaknya dibayangkan bahwa, orang-orang dimaksud memang sedang mengharapkan penjelasan itu. Mereka itu tidak berharap mendapatkan  pilihan kata yang terbaik,  kalimat yang indah, dan lain-lain. Bayangkan bahwa, seolah-olah, bagi mereka yang terpenting adalah penjelasannya bisa dimengerti dan memang sedang dibutuhkan. Kekhawatiran dan bahkan ketakutan bahwa ide atau gagasannya tidak penting, atau kalimatnya tidak jelas harus dihilangkan. Dirinya sendiri harus diyakinkan bahwa orang yang sedang ada di depannya memang menunggu penjelasan lewat tulisan itu.

Maka sebenarnya, yang diperlukan bagi siapa saja ketika sedang menulis adalah kepercayaan diri. Perasaan bebas, berani,  dan tidak khawatir sedikitpun itulah sebenarnya modal penting untuk membuat tulisan. Banyak orang yang sebenarnya kaya ide, gagasan,  pendapat, atau pandangan tetapi gagal disampaikan lewat tulisan, oleh karena yang bersangkutan tidak memiliki keberanian itu. Mereka takut atau khawatir bahwa tulisannya akan disalahkan orang, atau akan diangggap tidak  bermutu. Perasaan yang muncul seperti itulah sebenarnya yang menjadikan seseorang tidak banyak menghasilkan karya tulis. Oleh karena itu,  siapapun yang akan membiasakan diri secara istiqomah untuk menulis, maka tugas terpenting yang harus dilakukan adalah menumbuhkan atau membangun kepercayaan diri itu.

Sedangkan cara tepat untuk menumbuh-kembangkan kepercayaan diri adalah juga sederhana. Yaitu  jangan selalu mengingat-ingat kelemahan atau kekurangan dirinya sendiri. Seseorang yang  selalu menginventarisasi kelemahannya, maka yang bersangkutan akan mendapatkan prestasi sebagaimana yang digambarkannya  sendiri itu. Orang yang selalu menggambarkan bahwa dirinya tidak mampu  menulis, maka yang bersangkutan tidak akan memiliki tulisan. Orang yang selalu berpikir bahwa dirinya lemah, tidak mampu, banyak memiliki kekurangan, dan sebagainya, maka ia akan mendapatkan keadaan sebagaimana yang digambarkan sendiri itu. Begitu pula sebaliknya, orang yang  selalu optimis, khusnudzon, dan percaya diri, maka hidupnya akan berhasil.  Prestasi seseorang akan selalu sejalan atau sesuai dengan suara hati yang dikembangkannya sendiri itu.

Nah guys,,, Imam Ghozali dan ulama’ lainnya, para kyai, penulis dan guru-guru kita sungguh mengharapkan generasi muda untuk bersemangat belajar dan terus menulis demi kehidupan yang lebih dinamis. Maka, akankah kita mengecewakan harapan mereka? Jika mereka berkenan memberi manfaat untuk kita, maka maukah kita memberi manfaat untuk generasi setelah kita?

Mari semangat menulis...!

Wajak, 31 Agustus 2015 pukul 13:21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar