Sampai saat ini saya bukanlah belum menjadi seorang penulis yang
handal. Ide-ide dalam tulisan saya bukan sesuatu yang brilliant, diksi di
dalamnya pun tidak begitu menarik untuk dibaca, alurnya juga sering berantakan.
Tulisan saya biasa - biasa saja. Biasaaa banget. Sebenarnya saya ga pede
mem-posting tulisan di mading, facebook atau blog. Namun, ada beberapa alasan
yang membuat saya terdorong untuk menulis dan menyulut kepercayaan diri saya
untuk mempostingnya
Masih terngiang di telinga saya, bagaimana guru saya di
Tambakberas, KH. Abdul Kholiq Hasan dan bunyai Hj. Bashirotul Hidayah memberi
semangat yang luar biasa untuk menulis. Beliau setengah mewajibkan saya untuk
menulis, bahkan menerbitkan buku. Karena karya tulis kita nanti akan menjadi
jariyah pahala yang terus mengalir ketika ia dibaca dan dimanfaatkan oleh
generasi setelah kita. Imam Ghozali, Abu Syuja’, Imam Nawawi dan banyak ulama’
lainnya yang telah wafat ratusan tahun lalu masih dikenal hingga sekarang karena
karya mereka yang sering dipelajari di madrasah dan pondok pesantren. Imajinasi
saya, mungkin malaikat Roqib masih terus berdinas karena sibuk menulis pahala
beliau semua, dan entah bagaimana cara malaikat menghitung seberapa banyak pahalanya
karena memberi kemanfaatan yang luar biasa dan kontinyu pada umat manusia. Coba
kalau beliau semua tidak mengabadikan ilmu pengetahuan dalam sebuah kitab, maka
bagaimana kita bisa mewarisi ilmu Nabi Muhammad SAW yang telah wafat. Kyai dan
bunyai juga sering mencontohkan KH. Jamaluddin Ahmad, ayah beliau, guru saya
yang dalam usia senjanya masih terus produktif menulis. “Masa’ yang muda kalah semangat
sama Abah Jamal yang sudah sepuh, A’?” Begitu beliau menegaskan.
Jalan Menuju Allah, karya KH. Muhammad Jamaluddin Ahmad
Keluar dari Tambakberas, di tahun 2012 dan 2014, saya diikutkan
lomba di MTQ Kab. Gresik cabang Menulis Makalah Ilmiah al-Qur’an. Dari pihak
panitia sudah menyiapkan beberapa tema yang harus dipilih untuk dijadikan
tulisan. Bingung apa yang akan saya tulis, bingung literatur apa yang akan saya
baca untuk menjadi rujukan tulisan saya, maka saya pun mencoba menghubungi
beberapa pakar, guru-guru saya dan beberapa penulis via facebook. Salah satunya
adalah Bapak Rijal Mumazziq Zionis, penulis buku Cermin Bening dari Pesantren
yang kebetulan dulu pernah mengisi seminar jurnalistik di kampus saya. Banyak
saran yang saya terima dari beliau dan beliau berpesan untuk terus istiqomah
menulis tanpa memikirkan baik atau buruk tulisannya, karena dengan latihan yang
kontinyu, tulisan itu perlahan akan berkembang semakin baik.
Cermin Bening dari Pesantren, karya Rijal Mumazziq Zionis
Lagi, seseorang yang sangat kukagumi karena keistiqomahan
menulisnya adalah Bapak Prof. Imam Suprayogo, mantan rektor UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang. Sering saya iseng-iseng buka website beliau dan membaca artikelnya.
Pada 8 Desember 2013, pak Imam merasa senang sekali karena di hari itu tulisan
di website beliau telah genap mencapai angka 2000 jumlahnya. Dan terakhir saya
membuka website beliau pada 30 Agustus 2015, jumlah tulisan beliau di website
sudah mencapai 2639. Padahal kalau saya kalkulasi (maklum cewek, emang bakat
pegang kalkulator), jika tiap hari Pak Imam menulis 1 judul dari tanggal 8
Desember 2013 sampai dengan 30 Agustus 2015 harusnya jumlah tulisan ada 2630,
tapi nyatanya lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa tiap hari beliau bisa
membuat beberapa tulisan. Ah, mungkin laptop bagi pak Imam adalah bagaikan
butir tasbih bagi para sufi, atau bagai HP bagi sepasang kekasih yang sedang
menjalankan Long Distance Relationship. Semangat beliau untuk menulis dan berbagi
manfaat pada sesama sungguh mengagumkan. Saya ga habis pikir, dari mana ide-ide
tulisan yang beliau dapatkan. Beliau telah menulis ribuan judul, tapi kok ada saja
gagasan-gagasan baru yang brilliant untuk disampaikan di tulisan selanjutnya.
Mengamati keistiqomahan pak Imam ini membuat saya baru bisa menyadari dan
mendapat bukti konkrit bahwa, ketika ilmu pengetahuan dan pengalaman yang kita
miliki itu dirupakan dalam bentuk tulisan untuk diambil manfaatnya oleh banyak
orang, maka ilmu kita tak akan pernah habis dan berkurang, tapi justru semakin
bertambah dan bertambah.
Jumlah artikel Prof. Imam Suprayogo di website beliau tanggal 30 Agustus 2015
Saya dan mungkin ribuan teman-teman yang lain
pasti pernah mengalami perasaan minder dan kesulitan merangkai kata saat
menulis, hingga akhirnya perasaan-perasaan itu membawa kita pada rasa enggan
menulis. Maka, di sini akan saya tampilkan beberapa kiat yang disarankan oleh
bapak Imam Suprayogo agar kita mau terus menulis. Beberapa alinea di bawah ini
adalah cuplikan tulisan Pak Imam yang saya ambil dari website beliau yang
berjudul “Beristiqomah Dalam Menulis” yang diposting pada 8 Desember 2013.
Sengaja saya tampilkan tulisan beliau tanpa mengubah kata agar lebih mantap:
Bahwa manakala keinginan menulis sudah
tumbuh dan gagasan atau ide yang ditulis sudah muncul, maka segera
sajalah memulai untuk menulis. Saya selalu memberi saran, tatkala sedang
memulai menulis maka tidak perlu berpikir bahwa tulisannya tidak bermutu
atau tidak berkualitas. Yakinkan diri sendiri, bahwa ide yang sedang
ditulis itu adalah penting bagi banyak orang. Selain itu, buanglah
jauh-jauh rasa takut dan khawatir, bahwa kalimat yang digunakan
keliru, isinya tidak bermutu, akan dikritik orang, dan sejenisnya. Manakala
rasa takut dan kekhawatiran itu muncul, maka kegiatan menulisnya juga
akan berhenti. Ketakutan dan kekhawatiran itu akan menjadikan gagasan atau
idenya hilang. Selain itu, kalau pun selesai, hasil tulisannya
juga menjadi kurang baik.
Tatkala sedang memulai menulis, maka
perasaan yang seharusnya ditumbuh-kembangkan adalah, bahwa
seolah-olah ada orang yang berada di depannya yang sedang menunggu untuk
diberikan penjelasan lewat tulisan yang sedang dibuat itu. Hendaknya
dibayangkan bahwa, orang-orang dimaksud memang sedang
mengharapkan penjelasan itu. Mereka itu tidak berharap mendapatkan
pilihan kata yang terbaik, kalimat yang indah, dan lain-lain.
Bayangkan bahwa, seolah-olah, bagi mereka yang terpenting adalah
penjelasannya bisa dimengerti dan memang sedang dibutuhkan. Kekhawatiran
dan bahkan ketakutan bahwa ide atau gagasannya tidak penting, atau
kalimatnya tidak jelas harus dihilangkan. Dirinya sendiri
harus diyakinkan bahwa orang yang sedang ada di depannya memang menunggu
penjelasan lewat tulisan itu.
Maka sebenarnya, yang diperlukan bagi siapa
saja ketika sedang menulis adalah kepercayaan diri. Perasaan bebas,
berani, dan tidak khawatir sedikitpun itulah sebenarnya modal penting
untuk membuat tulisan. Banyak orang yang sebenarnya kaya ide, gagasan,
pendapat, atau pandangan tetapi gagal disampaikan lewat tulisan,
oleh karena yang bersangkutan tidak memiliki keberanian itu. Mereka takut atau
khawatir bahwa tulisannya akan disalahkan orang, atau akan diangggap tidak
bermutu. Perasaan yang muncul seperti itulah sebenarnya yang menjadikan
seseorang tidak banyak menghasilkan karya tulis. Oleh karena itu,
siapapun yang akan membiasakan diri secara istiqomah untuk menulis, maka tugas
terpenting yang harus dilakukan adalah menumbuhkan atau membangun kepercayaan
diri itu.
Sedangkan cara tepat untuk menumbuh-kembangkan
kepercayaan diri adalah juga sederhana. Yaitu jangan selalu
mengingat-ingat kelemahan atau kekurangan dirinya sendiri. Seseorang yang
selalu menginventarisasi kelemahannya, maka yang bersangkutan akan mendapatkan
prestasi sebagaimana yang digambarkannya sendiri itu. Orang yang selalu
menggambarkan bahwa dirinya tidak mampu menulis, maka yang bersangkutan
tidak akan memiliki tulisan. Orang yang selalu berpikir bahwa dirinya lemah,
tidak mampu, banyak memiliki kekurangan, dan sebagainya, maka ia akan
mendapatkan keadaan sebagaimana yang digambarkan sendiri itu. Begitu pula
sebaliknya, orang yang selalu optimis, khusnudzon, dan percaya diri, maka
hidupnya akan berhasil. Prestasi seseorang akan selalu sejalan atau
sesuai dengan suara hati yang dikembangkannya sendiri itu.
Nah guys,,, Imam
Ghozali dan ulama’ lainnya, para kyai, penulis dan guru-guru kita sungguh
mengharapkan generasi muda untuk bersemangat belajar dan terus menulis demi kehidupan
yang lebih dinamis. Maka, akankah kita mengecewakan harapan mereka? Jika mereka
berkenan memberi manfaat untuk kita, maka maukah kita memberi manfaat untuk
generasi setelah kita?
Mari semangat menulis...!
Wajak, 31
Agustus 2015 pukul 13:21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar