By: Aliyatul
Fikriyah
Menulis (bagiku) adalah
keharusan. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Guru saya, KH. Abdul Kholiq
Hasan pernah menggojloki, “Masa kamu kalah dengan yang sepuh2. Yai Jamal yang
sudah sepuh saja masih semangat menulis. Kamu yang masih muda, yang lebih kuat,
ternyata kalah semangat.”
Saya menyadari,
kyai-kyai saya, di tengah kesibukannya mendidik santri, di tengah padatnya
jadwal ngaji ke sana ke mari, di tengah hiruk pikuknya suasana ndalem dengan
tamu yang terus berdatangan ingin sowan, ternyata beliau masih menyisihkan
waktunya untuk menulis. Beliau tidak lelah mengabadikan pengetahuan yang beliau
miliki dalam sebuah tulisan-tulisan yang bisa dibaca hingga kemanfaatannya dirasakan
lebih banyak orang. Tidak beliau simpan sendiri, karena itu akan menjadi
jariyah. Yang terus mengalir meski raga telah terpendam dalam tanah.
Sering kali tiap
menyadari itu, aku hanya menyesali diri sambil menggumam, “Kok hidup gua berasa
kaya ga ada gunanya yah. Kok cuman gini-gini aja yah. Okelah aku akan menulis
lagi.” Tapi ya cuma gremeng-gremeng dalam hati namun tidak kubarengi dengan
langkah nyata, seperti membuka laptop dan menutul-nutulkan jariku di atas
keyboard. Cita-cita menulis itu hanya berputar dalam angan, tapi tidak ada
tindakan.
Kadangkala laptop
sudah dibuka, microsoft word sudah siap, tapi jemari ini ragu untuk
melaksanakan tugasnya cuma karena kuatir tulisan saya ga bermutu, ga ada
manfaatnya, ga menarik pembaca, atau malah nanti dapat kritik pedas di sini
sana, diksinya jelek lah, alurnya berantakan lah, tanda bacanya kurang lah dan
sebagainya. Akibatnya, sekedar mengetik 2-3 baris lalu kutinggalkan lagi sambil
memikirkan dalam-dalam redaksi apa yang harus kususun indah demi tulisan saya. Mikar
mikir soal redaksi, waktunya habis hanya untuk mikir, tapi tulisan itu tidak
segera jadi.
Lalu ingatanku melayang
pada tulisan Prof.Imam Suprayogo dalam website beliau beberapa tahun lalu. Beliau
berkata kurang lebih begini, menulislah dan jangan ragu, menulislah tanpa rasa
minder takut tulisanmu tidak bermutu. Menulis saja dengan niat membagikan
informasi pada orang lain. Dari situ, aku mulai terdorong untuk kembali
meneruskan menulis. Yang penting orang paham dengan kabar yang kusajikan dalam
tulisan, tanpa peduli bahasa dan alur yang amburadul dan terkesan ngawur. Wis pokoke sing moco
paham. Haha.
Semangat menulisku
makin terpompa ketika bulan April lalu, aku mengikuti kegiatan kader penulisan
yang diadakan oleh LTN NU di mana kami mendapat tugas untuk menulis sebuah kitab/
buku, yang nantinya akan dikoreksi oleh poro kyai. Beruntung suami ternyata
mengutusku mengikuti agar semangat menulisku tumbuh lagi. Di situ, lagi-lagi
aku dikompori untuk bersemangat menulis, membuahkan karya, tanpa ada rasa takut
minder ragu dengan hasilnya, wis pokoke moco, nulis, moco, nulis, moco, nulis. Tulisan
yang bagus itu bukan tulisan yang bahasanya indah dsb, tulisan yang bagus itu
tulisan yang JADI. Tulisan yang TUNTAS. Gapapa jika nantinya buku kita itu
hasilnya biasa-biasa saja, yang penting kita sudah berusaha. Maka jadikan karya
awal itu adalah batu loncatan untuk menelurkan karya-karya bagus selanjutnya. Jikalau
ada yang mengkritik karya kita, “Halah buku elek ngene wae kok.” Bilang sama
dia, “Coba samean nulis juga sebuah buku.” Karena sejatinya kadang orang ngritik
tulisan kita itu hanya karena isi buku kita tidak sesuai dengan pikirannya,
bukan karena kualitas tulisan kita.
Merespon sebuah
kritikan tulisan, aku ingat dengan tips dari penulis novel Hati Suhita. Menurut
Khilma Anis, penulis harus berjiwa lembah manah, artinya melapangkan dada,
merendahkan hati, siap menerima saran kritik dan masukan dari pembaca demi
meningkatkan kualitas tulisan kita. Kritik-kritik itu bisa menjadi ilmu yang
bisa kita cerna jika hati kita dilapangkan. Jadi penulis tidak boleh mudah baperan
dan sakit hati, nanti rugi sendiri.
Novel Hati Suhita
merupakan novel yang lahir (mungkin secara tidak sengaja) dari cerbung sang
penulis di facebook. Cerbung ini viral sekali. Dan belakangan, banyak juga
cerbung-cerbung yang seliweran di grup facebook yang kemudian dibukukan. Jujur saya
baru (baca: terlambat) menyadari, bahwa dakwah itu tidak melulu dengan mengadakan
pengajian kitab dan diskusi, menelurkan tulisan2 ilmiah tapi dakwah bisa
dilakukan melalui sebuah novel. Kalau saya baca novel hati suhita, seakan saya sedang
membaca buku panduan menjadi istri sholehah yang dibungkus dengan cerita yang
indah. Benar kata mbak Khilma, jika menyampaikan ilmu melalui karya ilmiah
hanya akan dinikmati oleh sebagian orang saja, maka jika itu dibungkus dalam
sebuah novel, pasti konsumennya lebih luas karena kebanyakan orang lebih
menyukai karya fiksi yang mendebarkan hati.
Bicara soal karya
fiksi, sebenarnya saya pernah menulis sebuah cerpen dalam antologi “perempuan
tali jagat” yang diprakarsai dan dibimbing oleh ning Nisaul Kamilah. Saya tidak
menyangka antologi yang terbit secara indie ini ternyata telah dicetak 5x, atau
habis 5000 eksemplar. Yah, pastinya ini karena Ning Nisaul Kamilah dikenal
sebagai profil yang tulisannya paling banyak ditunggu di jagat maya, di samping
sudah ada beberapa penulis terkenal di dalamnya. Saya? Hehe, Cuma pukpuk bawang
saja. Kadang malu sendiri kenapa cerita saya yang datar itu bisa lolos yah. Ya Allah,
Alhamdulillah, pas yang ngoreksi ini barangkali sedang bermurah hati. Cerpen ecek2
saya kok diterima, disandingkan dengan cerpen teman2 yang lebih dicintai sang
pembaca. Saya sampai membayangkan, andai antologi itu cuma tulisan saya,
mungkin ga laku sebanyak itu hehe... Ini cerpen saya ikut dibaca oleh banyak
orang, biwasilati nunut nama penulis yang hebat-hebat di sana.
Saya menyadari
bahwa, sepertinya saya ga cocok nulis fiksi. Ini saya paham karena dua hal,
pertama tulisan saya itu duatar sekali, ga ada feelnya. Kedua, saya memang
tidak pandai bercerita, meski menggunakan verbal. Saya ingat, di Tambakberas,
kadangkala ketika murid sudah lelah dengan pelajaran diniyyah, mereka minta
didongengin. Jujur saya sebenarnya ga begitu bisa bercerita, tapi yah wis saya
berusaha. Waktu itu lagi rame-ramenya novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere
Liye. Tahu lah ya, jaman dulu baca novel di pondok itu uantri antri sampe
bukunya rusak. Saya waktu itu termasuk orang-orang yang pertama kali
membacanya. Saya membaca dalam semalam khatam dan menangis sesenggukan. Ketika murid2
saya memintaku bercerita, saya bercerita novel itu dengan amburadul
sekali, ga bisa runtut, dan ga bisa
membawa mereka ke suasana cerita itu seharusnya. Hasilnya apa? Mereka ga terlihat
sedih karena isi cerita, tapi bingung dengan gaya cerita saya, wkwkwkw... Paraah
parah.
Kalau ada yang
pernah membeli antologi perempuan tali jagat, pasti sudah membaca bagian
belakang tentang “biodata penulis”. Di situ tertera pengalaman kepenulisan saya
pernah 2 kali menjadi juara 2 dalam lomba Menulis Makalah Ilmiah al-Qur’an
dalam MTQ tingkat kabupaten Gresik. 2 file makalahnya sudah hilang karena ada
di laptop yang sudah tidak bisa digunakan. Jadi saya tidak bisa menilai kembali
di masa kini, itu tulisan apakah memang layak menjadi juara hehe. Hanya seingat
saya, waktu itu tulisan saya biasa-biasa saja, sederhana. Kalaupun bisa menjadi
juara, itu mungkin karena peserta lombanya tidak terlalu banyak (sekitar 20-an
orang) jadi yah wis ini aja yang jadi juara. Lagi-lagi, beruntung karena asas
kemurahan hati sang juri. Hihi..
Tapi satu hal
yang membuat saya yakin, barangkali tulisan saya dianggap baik oleh juri karena
tulisan saya rampung, tulisan itu jadi sebuah makalah. Sama seperti kata guru-guru
saya di LTN, bagus ngga bagus, indah ngga indah, yang penting tulisannya jadi. Sama
seperti kata pak Imam Suprayogo, bahwa yang penting tulisan saya sudah bisa
memberikan informasi. Tentang diksi, urutan tulisan, itu hal kesekian yang
nanti sedikit-sedikit pasti berkembang mengalami perbaikan. Oh iya, saya
teringat, sebelum saya mengikuti lomba saya pernah meminta saran pada salah 1
penulis favorit saya, Gus Rijal Mumazziq Zionis di akun facebook beliau yang
lama, beliau pun berpesan hampir sama, yang penting berlatih, berproses untuk
terus menulis. Menulis bukan hal yang cukup dengan dipikir, tapi harus
dikerjakan, ditulis. Nanti tulisan-tulisan kita perlahan akan menjadi lebih
baik.
Ada lagi
seseorang yang menjadi inspirasi saya. Gaya penulisannya sangat kusuka. Orangnya
gokil sekali, dan tulisannya seringkali membuat saya tergelak tertawa. Gaya
nulisnya hampir sama dengan Gus Rijal. Gokil gokil bermutu, lah. Haha. Namanya Triwibowo
Budi Santoso. Meski statusnya kadang bikin ngakak guling2, ternyata beliau sudah
menulis beberapa buku tasawwuf. Keren kan? Saya pun pernah memintanya tips
bagaimana bisa menulis seperti beliau, meski tulisan panjang tapi tidak
membosankan, dan keren abis. Lagi-lagi beliau berpesan, ya pokoke nulis sesuai
passion saja. Dulu saya pun nulis seadanya, di buku diary, sekarang di status,
yang penting terus berlatih.
So, jika teman2
saya nantinya bosan melihat status-status panjang saya, gapapa, itu status ga
perlu dibaca. Skip wae lah. Itu saya cuman latihan nulis. Haha. Kalaupun ada
yang mau membaca, ya semoga tulisan saya ada manfaatnya. Kalau ada yang kasih
saran dan kritik, saya akan terima dengan senang hati dan lapang dada.
MENULIS ITU YAH,
SEPERTI MENGHAFAL AL-QUR’AN. CARANE HAFALAN BAGUS YA DENGAN DIDERES, GA ADA
CARA LAIN. CARANE TULISAN BAGUS YAH DENGAN TERUS MENULIS, GA ADA CARA LAIN.
Wajak, 11 Agustus
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar