Minggu, 11 Agustus 2019

TERTATIH UNTUK KEMBALI MENULIS




By: Aliyatul Fikriyah

Menulis (bagiku) adalah keharusan. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Guru saya, KH. Abdul Kholiq Hasan pernah menggojloki, “Masa kamu kalah dengan yang sepuh2. Yai Jamal yang sudah sepuh saja masih semangat menulis. Kamu yang masih muda, yang lebih kuat, ternyata kalah semangat.”

Saya menyadari, kyai-kyai saya, di tengah kesibukannya mendidik santri, di tengah padatnya jadwal ngaji ke sana ke mari, di tengah hiruk pikuknya suasana ndalem dengan tamu yang terus berdatangan ingin sowan, ternyata beliau masih menyisihkan waktunya untuk menulis. Beliau tidak lelah mengabadikan pengetahuan yang beliau miliki dalam sebuah tulisan-tulisan yang bisa dibaca hingga kemanfaatannya dirasakan lebih banyak orang. Tidak beliau simpan sendiri, karena itu akan menjadi jariyah. Yang terus mengalir meski raga telah terpendam dalam tanah.

Sering kali tiap menyadari itu, aku hanya menyesali diri sambil menggumam, “Kok hidup gua berasa kaya ga ada gunanya yah. Kok cuman gini-gini aja yah. Okelah aku akan menulis lagi.” Tapi ya cuma gremeng-gremeng dalam hati namun tidak kubarengi dengan langkah nyata, seperti membuka laptop dan menutul-nutulkan jariku di atas keyboard. Cita-cita menulis itu hanya berputar dalam angan, tapi tidak ada tindakan.

Kadangkala laptop sudah dibuka, microsoft word sudah siap, tapi jemari ini ragu untuk melaksanakan tugasnya cuma karena kuatir tulisan saya ga bermutu, ga ada manfaatnya, ga menarik pembaca, atau malah nanti dapat kritik pedas di sini sana, diksinya jelek lah, alurnya berantakan lah, tanda bacanya kurang lah dan sebagainya. Akibatnya, sekedar mengetik 2-3 baris lalu kutinggalkan lagi sambil memikirkan dalam-dalam redaksi apa yang harus kususun indah demi tulisan saya. Mikar mikir soal redaksi, waktunya habis hanya untuk mikir, tapi tulisan itu tidak segera jadi.

Lalu ingatanku melayang pada tulisan Prof.Imam Suprayogo dalam website beliau beberapa tahun lalu. Beliau berkata kurang lebih begini, menulislah dan jangan ragu, menulislah tanpa rasa minder takut tulisanmu tidak bermutu. Menulis saja dengan niat membagikan informasi pada orang lain. Dari situ, aku mulai terdorong untuk kembali meneruskan menulis. Yang penting orang paham dengan kabar yang kusajikan dalam tulisan, tanpa peduli bahasa dan alur yang amburadul  dan terkesan ngawur. Wis pokoke sing moco paham. Haha.

Semangat menulisku makin terpompa ketika bulan April lalu, aku mengikuti kegiatan kader penulisan yang diadakan oleh LTN NU di mana kami mendapat tugas untuk menulis sebuah kitab/ buku, yang nantinya akan dikoreksi oleh poro kyai. Beruntung suami ternyata mengutusku mengikuti agar semangat menulisku tumbuh lagi. Di situ, lagi-lagi aku dikompori untuk bersemangat menulis, membuahkan karya, tanpa ada rasa takut minder ragu dengan hasilnya, wis pokoke moco, nulis, moco, nulis, moco, nulis. Tulisan yang bagus itu bukan tulisan yang bahasanya indah dsb, tulisan yang bagus itu tulisan yang JADI. Tulisan yang TUNTAS. Gapapa jika nantinya buku kita itu hasilnya biasa-biasa saja, yang penting kita sudah berusaha. Maka jadikan karya awal itu adalah batu loncatan untuk menelurkan karya-karya bagus selanjutnya. Jikalau ada yang mengkritik karya kita, “Halah buku elek ngene wae kok.” Bilang sama dia, “Coba samean nulis juga sebuah buku.” Karena sejatinya kadang orang ngritik tulisan kita itu hanya karena isi buku kita tidak sesuai dengan pikirannya, bukan karena kualitas tulisan kita.

Merespon sebuah kritikan tulisan, aku ingat dengan tips dari penulis novel Hati Suhita. Menurut Khilma Anis, penulis harus berjiwa lembah manah, artinya melapangkan dada, merendahkan hati, siap menerima saran kritik dan masukan dari pembaca demi meningkatkan kualitas tulisan kita. Kritik-kritik itu bisa menjadi ilmu yang bisa kita cerna jika hati kita dilapangkan. Jadi penulis tidak boleh mudah baperan dan sakit hati, nanti rugi sendiri.

Novel Hati Suhita merupakan novel yang lahir (mungkin secara tidak sengaja) dari cerbung sang penulis di facebook. Cerbung ini viral sekali. Dan belakangan, banyak juga cerbung-cerbung yang seliweran di grup facebook yang kemudian dibukukan. Jujur saya baru (baca: terlambat) menyadari, bahwa dakwah itu tidak melulu dengan mengadakan pengajian kitab dan diskusi, menelurkan tulisan2 ilmiah tapi dakwah bisa dilakukan melalui sebuah novel. Kalau saya baca novel hati suhita, seakan saya sedang membaca buku panduan menjadi istri sholehah yang dibungkus dengan cerita yang indah. Benar kata mbak Khilma, jika menyampaikan ilmu melalui karya ilmiah hanya akan dinikmati oleh sebagian orang saja, maka jika itu dibungkus dalam sebuah novel, pasti konsumennya lebih luas karena kebanyakan orang lebih menyukai karya fiksi yang mendebarkan hati.

Bicara soal karya fiksi, sebenarnya saya pernah menulis sebuah cerpen dalam antologi “perempuan tali jagat” yang diprakarsai dan dibimbing oleh ning Nisaul Kamilah. Saya tidak menyangka antologi yang terbit secara indie ini ternyata telah dicetak 5x, atau habis 5000 eksemplar. Yah, pastinya ini karena Ning Nisaul Kamilah dikenal sebagai profil yang tulisannya paling banyak ditunggu di jagat maya, di samping sudah ada beberapa penulis terkenal di dalamnya. Saya? Hehe, Cuma pukpuk bawang saja. Kadang malu sendiri kenapa cerita saya yang datar itu bisa lolos yah. Ya Allah, Alhamdulillah, pas yang ngoreksi ini barangkali sedang bermurah hati. Cerpen ecek2 saya kok diterima, disandingkan dengan cerpen teman2 yang lebih dicintai sang pembaca. Saya sampai membayangkan, andai antologi itu cuma tulisan saya, mungkin ga laku sebanyak itu hehe... Ini cerpen saya ikut dibaca oleh banyak orang, biwasilati nunut nama penulis yang hebat-hebat di sana.

Saya menyadari bahwa, sepertinya saya ga cocok nulis fiksi. Ini saya paham karena dua hal, pertama tulisan saya itu duatar sekali, ga ada feelnya. Kedua, saya memang tidak pandai bercerita, meski menggunakan verbal. Saya ingat, di Tambakberas, kadangkala ketika murid sudah lelah dengan pelajaran diniyyah, mereka minta didongengin. Jujur saya sebenarnya ga begitu bisa bercerita, tapi yah wis saya berusaha. Waktu itu lagi rame-ramenya novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye. Tahu lah ya, jaman dulu baca novel di pondok itu uantri antri sampe bukunya rusak. Saya waktu itu termasuk orang-orang yang pertama kali membacanya. Saya membaca dalam semalam khatam dan menangis sesenggukan. Ketika murid2 saya memintaku bercerita, saya bercerita novel itu dengan amburadul sekali,  ga bisa runtut, dan ga bisa membawa mereka ke suasana cerita itu seharusnya. Hasilnya apa? Mereka ga terlihat sedih karena isi cerita, tapi bingung dengan gaya cerita saya, wkwkwkw... Paraah parah.

Kalau ada yang pernah membeli antologi perempuan tali jagat, pasti sudah membaca bagian belakang tentang “biodata penulis”. Di situ tertera pengalaman kepenulisan saya pernah 2 kali menjadi juara 2 dalam lomba Menulis Makalah Ilmiah al-Qur’an dalam MTQ tingkat kabupaten Gresik. 2 file makalahnya sudah hilang karena ada di laptop yang sudah tidak bisa digunakan. Jadi saya tidak bisa menilai kembali di masa kini, itu tulisan apakah memang layak menjadi juara hehe. Hanya seingat saya, waktu itu tulisan saya biasa-biasa saja, sederhana. Kalaupun bisa menjadi juara, itu mungkin karena peserta lombanya tidak terlalu banyak (sekitar 20-an orang) jadi yah wis ini aja yang jadi juara. Lagi-lagi, beruntung karena asas kemurahan hati sang juri. Hihi..

Tapi satu hal yang membuat saya yakin, barangkali tulisan saya dianggap baik oleh juri karena tulisan saya rampung, tulisan itu jadi sebuah makalah. Sama seperti kata guru-guru saya di LTN, bagus ngga bagus, indah ngga indah, yang penting tulisannya jadi. Sama seperti kata pak Imam Suprayogo, bahwa yang penting tulisan saya sudah bisa memberikan informasi. Tentang diksi, urutan tulisan, itu hal kesekian yang nanti sedikit-sedikit pasti berkembang mengalami perbaikan. Oh iya, saya teringat, sebelum saya mengikuti lomba saya pernah meminta saran pada salah 1 penulis favorit saya, Gus Rijal Mumazziq Zionis di akun facebook beliau yang lama, beliau pun berpesan hampir sama, yang penting berlatih, berproses untuk terus menulis. Menulis bukan hal yang cukup dengan dipikir, tapi harus dikerjakan, ditulis. Nanti tulisan-tulisan kita perlahan akan menjadi lebih baik.

Ada lagi seseorang yang menjadi inspirasi saya. Gaya penulisannya sangat kusuka. Orangnya gokil sekali, dan tulisannya seringkali membuat saya tergelak tertawa. Gaya nulisnya hampir sama dengan Gus Rijal. Gokil gokil bermutu, lah. Haha. Namanya Triwibowo Budi Santoso. Meski statusnya kadang bikin ngakak guling2, ternyata beliau sudah menulis beberapa buku tasawwuf. Keren kan? Saya pun pernah memintanya tips bagaimana bisa menulis seperti beliau, meski tulisan panjang tapi tidak membosankan, dan keren abis. Lagi-lagi beliau berpesan, ya pokoke nulis sesuai passion saja. Dulu saya pun nulis seadanya, di buku diary, sekarang di status, yang penting terus berlatih.

So, jika teman2 saya nantinya bosan melihat status-status panjang saya, gapapa, itu status ga perlu dibaca. Skip wae lah. Itu saya cuman latihan nulis. Haha. Kalaupun ada yang mau membaca, ya semoga tulisan saya ada manfaatnya. Kalau ada yang kasih saran dan kritik, saya akan terima dengan senang hati dan lapang dada.

MENULIS ITU YAH, SEPERTI MENGHAFAL AL-QUR’AN. CARANE HAFALAN BAGUS YA DENGAN DIDERES, GA ADA CARA LAIN. CARANE TULISAN BAGUS YAH DENGAN TERUS MENULIS, GA ADA CARA LAIN.

Wajak, 11 Agustus 2019


Tidak ada komentar:

Posting Komentar